SAAT INI
R.A.M.
Lagi.
Aku menatap ke luar melalui jendela walau tak ada yang benar-benar kutatap di
luar sana. Pemandangan seperti apalah yang kuharapkan dari jalanan bising pusat
kota? Aku hanya butuh pengalih pikiran. Memandangi burung yang berterbangan di
langit sore sedikit menghalau kabut yang bersemayam di dadaku. Mereka terlihat
begitu bebas. Terbang tanpa ada yang menahan. Ah, jangan salah, walaupun pusat
kota dengan segala kesibukan dan volume kendaraan yang melimpah, masih ada
rerimbun pepohonan serupa hutan kecil di sini. Rumah dari beberapa spesies
burung yang berterbangan menggoda. Aset universitas negeri terbesar paling
berpengaruh di kota ini.
Aku
mendesah pelan. Menatap layar laptop yang mulai menunjukkan screen saver gelembung berwarna-warni di
atas naskah yang hampir selesai kukoreksi. Kembali ke rutinitas yang memuakkan
ini. Yang menjadi lebih menyebalkan ketika tak ada lagi perasaan yang
mengiringinya. Perasaan cinta. Jelas,
aku tidak lagi mencintai pekerjaan ini. Ah, mungkin kata "cinta"
memang sudah lama terhapus dari amygdala-ku.
Entah sudah berapa tahun aku tak merasakannya. Terakhir yang kuingat tentang
perasaan itu hanyalah sakit berkepanjangan sesudahnya.
Aku
mulai berkemas beberapa menit sebelum jam dinding menunjukkan pukul enam sore.
Sebisa mungkin tak menyia-nyiakan waktu di tempat ini. Begitu jarum panjang jam
tepat mengarah pada angka dua belas, aku beranjak dari tempat duduk dan keluar
ruangan. Pulang. Tak ada kata lembur dalam kamusku. Jika aku bisa menyelesaikan
pekerjaan di jam kerja, buat apa aku mengorbankan waktu bebasku yang berharga?
Walaupun aku tidak mencintai pekerjaan ini, tapi aku tetap bekerja secara
profesional. Melakukan yang terbaik, itu prinsip yang kujunjung tinggi selama
ini. Tanpa itu, tak mungkin sekarang aku menduduki posisi penting sebagai
editor senior di salah satu penerbit besar di kotaku. Walau setahun yang lalu
aku masih berstatus sebagai asisten editor.
"Asa!
Novel Randy sudah selesai kau koreksi?" Seru chief editor dari balik
mejanya. Aku mengernyitkan dahi. Siapa
itu Randy?
"Aish,
bahkan nama penulis pun kau tidak hafal. Dia penulis yang sedang naik daun
baru-baru ini. Yang naskahnya kuserahkan padamu minggu lalu! Bukankah seminggu
ini kau hanya mengerjakan novel itu?" Aku mengedikkan bahu tak acuh. Mana
kutahu kalau naskah itu buatan Randy--entah siapa itu. Aku tak peduli.
"Sudah
belum?!" Serunya lagi.
"E-mail!"
Jawabku singkat. Yang hanya berarti satu : sudah selesai kukoreksi dan sudah
kukirimkan ke e-mail chief editor serta cc ke e-mail penulis--siapa tadi? Ah,
entahlah. Aku lupa.
"Oh
ya, besok pagi kita ada diskusi naskah. Jangan lupa!" Seru chief editor
terakhir kalinya sebelum kakiku melangkah melewati pintu kaca.
Kuarahkan
langkahku menuju halte bus tak jauh dari sana. Seperti biasa aku menunggu bus
seorang diri. Trayek bus yang biasa kunaiki memang sepi penumpang. Namun aku
malah menyukai kesepian ini. Membuatku terbebas sejenak dari kewajiban bersosialisasi.
Kalian bisa menyebutku introvert, terserah. Tapi aku menemukan kenyamanan saat
sendiri. Pikiranku bisa melayang bebas tanpa ada yang menginterupsi.
***
Matahari
bersinar lembut, menyapu kulitku dengan hangat. Menemaniku seperti yang selalu
ia lakukan setiap pagi. Satu dari sedikit hal yang bisa membuatku tersenyum.
Merasakan kehangatan matahari pagi juga merupakan suatu nikmat, bukan? Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Lagi-lagi
aku sendirian di halte. Walau aku tahu dengan tepat jam berapa bus datang, aku
selalu menunggu sepuluh menit lebih awal. Menikmati kesendirian, lagi.
Lima
menit berlalu, ada yang berbeda dengan hari ini. Seseorang berlari-lari kecil
menuju halte. Duduk di sebelahku. Menunggu bus yang sama, sudah pasti, karena
hanya bus yang biasa kunaiki yang lewat di halte ini. Pertama kalinya dalam
setahun, aku tidak sendirian menunggu.
Entah
mengapa aku merasa aneh. Seperti ada yang merenggut kebebasanku. Sesuatu yang
biasa kunikmati sendiri sekarang harus kubagi dengan orang lain. Aku tidak
rela. Tetapi, bagaimanapun halte dan bus adalah fasilitas umum. Mana mungkin
aku berteriak mengusir si pengganggu ketenanganku.
Tak
pernah aku merasa selega itu ketika bus akhirnya datang. Sengaja aku naik bus
belakangan, menunggu si pengganggu duduk, dan kemudian aku sendiri mengambil
tempat duduk sejauh mungkin darinya.
***
Aku
menatap dua orang di hadapanku tak percaya. Chief editor memperkenalkanku
dengan penulis yang ia bicarakan kemarin--yang bahkan tak kuingat siapa
namanya. Dan orang itu adalah si pengganggu yang sepagi tadi merenggut sepi
dariku. Aku mendengus kesal. Apalagi chief editor menyuruhku untuk
menyelesaikan revisi novel itu hari ini. Rupanya ada beberapa bagian yang ingin
diubah oleh si penulis. Jadilah aku harus mengerjakan revisi seharian ini bersamanya, karena sore nanti naskah
sudah harus naik cetak. Kesendirianku benar-benar terenggut.
"Oke,
kuharap kalian dapat bekerja bersama dengan baik, walaupun ini pertemuan
pertama kalian." Chief editor menepuk punggungku. Tatapannya memaksaku
untuk berkata sekedar berbasa-basi.
"Senang
bisa bekerja denganmu, err... Roni--aww!" Chief editor menyikut
pinggangku. Aku melotot. Apa salahku?
"Maaf
Randy, Asa memang mudah lupa nama orang. Sudah sana, cepat kerjakan. Waktu
kalian sampai jam empat," chief editor mengingatkan. Aku merengut, sedangkan
Randy hanya tersenyum geli.
Ia
mengikutiku ke kafe di seberang kantor. Kalau bersama penulis seperti ini
memang tempat paling cocok adalah di kafe. Setidaknya jika aku mulai
uring-uringan, entah karena tulisan yang tidak sesuai standar atau karena aku
mulai risih dengan kehadirannya, aku tidak akan merusak barang-barangku di
kantor.
Randy
bekerja tanpa banyak bersuara. Ia hanya mengangguk pelan saat kutunjukkan
bagian mana yang harus disesuaikan olehnya. Aku sendiri tak berbuat apa-apa,
hanya menunggu dan memastikan Randy menyelesaikannya tepat waktu. Seharusnya
kan, pekerjaanku sudah selesai kemarin.
Hampir
tengah hari aku menerima e-mail dari orang di hadapanku. Rupanya ia telah
selesai. Segera aku mengunduh lampiran di e-mail tersebut. Memeriksa dengan
seksama bagian yang ia ubah. Menambahkan dan menyunting beberapa kalimat,
kemudian kembali mengirimkan padanya. Kutambahkan pesan untuknya di badan
e-mail.
'Final. Siap naik
cetak. Deal?'
Kulihat
ia mengecek sejenak revisi dariku. Sebaris senyum puas tersungging di bibirnya
saat jemarinya mengetik balasan untukku. Apa-apaan kami ini, duduk berhadapan,
tapi saling berkirim e-mail?
E-mail
dari Randy masuk beberapa saat kemudian. Hanya berisi satu kata.
'Deal'
Aku
segera mengirimkan naskah final ke chief editor. Akhirnya aku selesai berurusan
dengannya. Setelah ini aku tidak akan melihat naskah itu lagi sampai selesai
dicetak. Baru setelah itu aku melakukan final check dan novel mulai beredar ke
pasaran.
Sebuah
e-mail masuk. Dari Randy. Apa lagi maunya? Jangan bilang dia masih ingin
mengubah naskahnya. Tak akan kubiarkan. Sudah cukup ia menggangguku sehari ini.
'Pukul 6. Halte dekat
kantor.'
Tunggu--apa
maksudnya ini? Aku meliriknya sekilas. Ia hanya menyunggingkan sudut bibirnya.
Aku tidak mengerti. Memang setiap hari aku menunggu bus di halte itu pukul enam
sore. Tapi, apa maksudnya mengirimiku
pesan ini?
Randy
beranjak dari tempat duduknya. Tersenyum dengan sopan ke arahku dan melenggang
keluar kafe. Jantungku bagai terhenti sejenak. Mengapa aku tidak menyadari
sebelumnya? Matanya yang hitam bagai elang begitu tajam menatap namun dalam
waktu bersamaan terkesan... lembut? Dan saat kulihat punggungnya menjauh, ia
terlihat begitu gagah. Tunggu dulu,
mengapa aku jadi memperhatikannya?
Sisa
hari itu aku gelisah menunggu pukul enam. Aku penasaran, namun sekaligus ragu.
Apakah pesan Randy tadi berarti dia akan menemuiku? Ataukah dia tahu
kebiasaanku pulang dan mengancamku? Bodoh, pemikiran macam apa ini.
Semakin
mendekati pukul enam, semakin bersemangatlah aku. Entahlah apa yang memberiku
energi begitu besar. Ingin rasanya jemariku ini menggerakkan jarum jam walau
sekedar satu menit lebih awal. Namun ketika jarum menit dan detik sempurna
menghadap angka dua belas, kakiku tertahan oleh setitik ragu. Ada apa denganku?
Apa yang sebenarnya kuharapkan? Aku
menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri
selama satu menit, kemudian melangkah ke luar tanpa ada prasangka apapun. No expectation at all.
Begitu
keluar dari pintu kaca, sudah kulihat Randy duduk di halte sambil membaca sebuah
buku. Sejenak ia melirik ke arah kantor. Melihatku sudah berjalan menuju tempat
ia berada, Randy menutup buku yang dibacanya dan memasukkannya ke dalam tas.
Aku duduk di sampingnya. Tanpa berkata, tanpa bertanya. Ia pun begitu.
Sama-sama memandang ke jalanan yang ramai. Pun dengan lima belas menit yang
berlalu kemudian. Tanpa bersuara kami menaiki bus, duduk berdampingan walau tak
ada sepatah kata terucap.
Begitu
pula saat kami tiba di halte tujuan, turun dan berjalan beriringan menuju
perumahan kecil tempat tinggalku berada. Juga ketika kami akhirnya berpisah di
depan pintu gerbang rumahku. Ia hanya mengangguk kecil saat aku membuka pintu
gerbang dan masuk. Aku membalasnya dengan senyum sekilas.
Aku
meraih gagang pintu saat naluri memaksaku untuk berpaling. Kulihat Randy masih
berdiri di luar pintu gerbang. Tersenyum dan melambaikan tangannya. Setelah
kubalas lambaiannya, ia berucap pelan.
"Selamat
malam."
Aku
mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Menutup pintu rapat-rapat. Aku tersadar,
baru kali ini aku mendengar ia berbicara. Walau pelan, seketika aku dapat
mengingat dengan pasti suaranya. Dalam dan sedikit ngebass. Suara paling
berkesan yang pernah kudengar.
Aku
merebahkan punggung di atas kasur. Mengingat kembali apa yang terjadi hari ini.
Entah mengapa jantungku berdetak begitu keras. Perasaan ini... sudah sangat
lama aku tidak merasakannya. Ini sungguh terasa asing. Tapi dalam waktu bersamaan juga... hangat.
Kulirik
jam di dinding kamar. Pukul sembilan. Masih terlalu awal untuk tidur. Aku
mengeluarkan laptop dari tas, menyalakannya. Sebuah e-mail masuk. Dari Randy.
Baru diterima beberapa menit yang lalu. Dengan perasaan campur aduk aku
membukanya.
'Selamat malam Asa. Aku
hanya ingin bilang, terima kasih kau mau pulang bersama denganku tadi. Err...
maaf aku tidak mengatakannya secara langsung. Baiklah, kuakui aku... malu. Oke,
kau boleh tertawa sepuasmu. Tetapi sungguh, aku benar-benar tidak tahu bagaimana
aku harus bersikap atau berkata-kata bila dekat denganmu.
Maafkan
ketidaksopananku.'
Aku
tak bisa menahan senyum. Perasaan ini seperti meloncat-loncat mendelesak keluar
dari dadaku. Dengan masih berdebar dan tangan gemetar, aku mengetik e-mail balasan.
'Tidak apa-apa, Randy.
Aku juga berterima kasih padamu karena hari ini adalah pertama kalinya dalam
setahun ada yang menemaniku. Ternyata, punya teman seperjalanan tidak seburuk
yang kukira. Dan jangan khawatir, aku menyukai kesunyian.'
Aku
tertawa membaca balasan yang kuketik, teringat betapa kesalnya aku tadi pagi
karena ada yang merusak sendiriku. Tetapi saat ini kekesalan itu sudah tidak
bersisa. Yang ada hanyalah perasaan lega dan syukur. Tak kurang herannya diriku
mengalami perubahan emosi sedrastis ini.
Beberapa
saat kemudian e-mail balasan dari Randy datang.
'Baguslah :)
Kau menyukai kesunyian,
tetapi bukan berarti aku menyuruhku diam untuk selamanya, kan?
Karena aku berharap
masih dapat bersamamu untuk beberapa waktu lagi.'
Kuketik
e-mail balasan cepat-cepat.
'Kau yakin? Berapa
lama?'
Balasan
dari Randy datang lebih cepat lagi.
'Tentu. Selamanya?'
***
Gerimis
lembut menyapu wajahku saat aku menunggu bus di halte pagi ini. Semalam, e-mail
Randy tidak kubalas. Isi e-mail terakhirnya membuatku semakin bergemuruh dan
malah kehilangan kata-kata. Nantilah saja kalau hatiku sudah mantap, aku akan
memikirkannya lagi.
Sesosok
pria berlari-lari kecil menembus gerimis. Randy. Aku langsung tahu dari postur
tubuh dan caranya melangkah. Padahal biasanya aku tidak terlalu peduli dengan
orang lain, kerap melupakan walau sudah beberapa kali bertemu. Entahlah.
Mungkin otak visualku sudah merekam sempurna sosok yang membuat amygdala-ku merasakan hangat lagi itu.
Ia
tiba dengan sedikit terengah. Rambutnya yang hitam cepak basah oleh rintik. Tak
kurang senyum yang selalu ia tunjukkan saat mataku menangkap raut wajahnya.
Duduk mengisi bangku kosong di sebelahku. Apa yang harus kukatakan? Menjawab
e-mailnya semalam, atau...
"Aku
menyukaimu," kata Randy menginterupsi pikiranku. Matanya lurus menatap
jalan. Tak terlihat seperti berbicara denganku. Tapi kutahu pasti kata-katanya
itu ditujukan padaku. Siapa lagi yang ada disini selain kami berdua?
"Hm
mm." Aku mengangguk.
"Aku
akan tetap menyukaimu. Walau Parhat Babas menjadi presiden, aku akan tetap
menyukaimu. Eh? Maksudku... itu kan hal yang tak mungkin... maksudku..."
Randy menggaruk tengkuknya salah tingkah. Aku terbahak. Perumpamaan macam apa
itu.
"Penulis
gagal gombal," ucapku sembari meredakan tawa.
Randy
bangkit dari duduknya. Ia kemudian berdiri di hadapanku. Mata elangnya mengunci
tatapanku. Siluet tubuhnya yang disinari matahari pagi membuatku tercekat.
Pemandangan yang tak akan bisa kulupakan seumur hidup.
"Asa...
aku tahu ini terlalu cepat. Aku sendiri tidak begitu yakin dengan ini. Tetapi
aku ingin agar kau percaya... agar kita percaya... bahwa ini pantas dicoba.
Maukah kau percaya? Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku hanya bisa
menjanjikan kau bahagia saat ini..." kata Randy terbata.
"Saat
ini?" Tanyaku tak mengerti.
"Iya,
saat ini... sehingga kapanpun aku menanyakan padamu, 'apakah kau bahagia saat
ini?' kau akan selalu menjawab, 'iya'..."
Tak
mampu kulepaskan pandanganku dari hitam matanya. Diriku terhipnotis seluruhnya.
Kutelusuri wajah Randy yang begitu kokoh dengan tatapanku. Tiba-tiba bola
matanya bergerak-gerak gelisah. Semburat semu muncul di pipinya yang bagai
pualam.
"Mu-mukamu
merah tuh!" Katanya terbata. Aku terkikik.
"Mukamu
juga merah."
***
***
Aku
tersenyum membaca kembali tulisan di buku berdebu yang tanpa sengaja kutemukan
itu. Aku bahkan hampir lupa dulu pernah menulis hal seperti ini. Aku mungkin
tidak akan pernah menemukannya kalau tidak mengobrak-abrik lemari yang sudah
teronggok di gudang. Sepasang tangan melingkar di pinggangku.
"Sudah
ketemu buku kenangan SMA-mu?" Tanya si pemilik tangan. Aku menggeleng.
Kutunjukkan buku yang baru saja kubaca. Tangan kanannya melepaskan pelukan di
pinggangku, menerima buku tersebut.
"Apa
ini?" Tanyanya. Seperti biasa suara ngebassnya selalu membuatku terpesona.
"Cerita
pertemuan pertama kita," jawabku singkat. Aku memutar badan menghadapnya.
Kulihat dia tersenyum kikuk sambil memegang buku. Matanya bergerak-gerak
gelisah. Aku menatapnya semakin dalam.
"Mu-mukamu
merah tuh!" Katanya terbata. Aku terkikik. Randy memang tak pernah
berubah. Kikuk seperti pertama kali aku mengenalnya tiga tahun lalu.
"Mukamu
juga merah," sahutku sambil tersenyum menggodanya. Ia semakin salah
tingkah.
"Su-sudahlah!"
Ia mengacak rambutku dengan canggung.
"Kau
tidak berubah, mas. Masih canggung seperti tiga tahun yang lalu," kataku
terkekeh.
"Jangan
protes, ini salahmu. Kau akan menanggungnya seumur hidup. Karena setiap kali
aku memandangmu... rasanya selalu seperti melihatmu untuk pertama kali."
Saat mengatakan itu mata tajam Randy lekat menatap mataku. Aku seperti terbius.
Tak mampu berkata-kata lagi. Ini yang ketiga kalinya Randy menggunakan tatapan
mautnya. Pertama tiga tahun yang lalu, di bawah gerimis saat ia menyatakan suka
padaku. Yang kedua baru sebulan yang lalu, beberapa saat setelah ia mengucap
akad dan seruan "sah" bergema di masjid kota. Semuanya sukses
membuatku membeku.
"Kau
menepati janjimu, mas," kataku akhirnya.
"Janji
apa?"
"Aku
bahagia, saat ini. Terima kasih."
~~~fin~~~
R.A.M.
Jan, 5th 2014
Jatisrono, Wonogiri
ciaaat ciaaat :3
ReplyDeleteHus minggir, anak kecil gaboleh ikutan :p
Deletenice :))
ReplyDeleteOw ow. Aku terlalu polos untuk membaca ini. Bener2 serius dan jadi malu bacanya u.u hahaha
ReplyDeletekenapa malu? :o
Deleteternyata nulis ky ngene tho.. haha..
ReplyDelete*mbayangke