Saturday, 25 January 2014

[Cerpen] Saat Ini

SAAT INI
R.A.M.


Lagi. Aku menatap ke luar melalui jendela walau tak ada yang benar-benar kutatap di luar sana. Pemandangan seperti apalah yang kuharapkan dari jalanan bising pusat kota? Aku hanya butuh pengalih pikiran. Memandangi burung yang berterbangan di langit sore sedikit menghalau kabut yang bersemayam di dadaku. Mereka terlihat begitu bebas. Terbang tanpa ada yang menahan. Ah, jangan salah, walaupun pusat kota dengan segala kesibukan dan volume kendaraan yang melimpah, masih ada rerimbun pepohonan serupa hutan kecil di sini. Rumah dari beberapa spesies burung yang berterbangan menggoda. Aset universitas negeri terbesar paling berpengaruh di kota ini.

Aku mendesah pelan. Menatap layar laptop yang mulai menunjukkan screen saver gelembung berwarna-warni di atas naskah yang hampir selesai kukoreksi. Kembali ke rutinitas yang memuakkan ini. Yang menjadi lebih menyebalkan ketika tak ada lagi perasaan yang mengiringinya. Perasaan cinta. Jelas, aku tidak lagi mencintai pekerjaan ini. Ah, mungkin kata "cinta" memang sudah lama terhapus dari amygdala-ku. Entah sudah berapa tahun aku tak merasakannya. Terakhir yang kuingat tentang perasaan itu hanyalah sakit berkepanjangan sesudahnya.

Aku mulai berkemas beberapa menit sebelum jam dinding menunjukkan pukul enam sore. Sebisa mungkin tak menyia-nyiakan waktu di tempat ini. Begitu jarum panjang jam tepat mengarah pada angka dua belas, aku beranjak dari tempat duduk dan keluar ruangan. Pulang. Tak ada kata lembur dalam kamusku. Jika aku bisa menyelesaikan pekerjaan di jam kerja, buat apa aku mengorbankan waktu bebasku yang berharga? Walaupun aku tidak mencintai pekerjaan ini, tapi aku tetap bekerja secara profesional. Melakukan yang terbaik, itu prinsip yang kujunjung tinggi selama ini. Tanpa itu, tak mungkin sekarang aku menduduki posisi penting sebagai editor senior di salah satu penerbit besar di kotaku. Walau setahun yang lalu aku masih berstatus sebagai asisten editor.

"Asa! Novel Randy sudah selesai kau koreksi?" Seru chief editor dari balik mejanya. Aku mengernyitkan dahi. Siapa itu Randy?

"Aish, bahkan nama penulis pun kau tidak hafal. Dia penulis yang sedang naik daun baru-baru ini. Yang naskahnya kuserahkan padamu minggu lalu! Bukankah seminggu ini kau hanya mengerjakan novel itu?" Aku mengedikkan bahu tak acuh. Mana kutahu kalau naskah itu buatan Randy--entah siapa itu. Aku tak peduli.

"Sudah belum?!" Serunya lagi.

"E-mail!" Jawabku singkat. Yang hanya berarti satu : sudah selesai kukoreksi dan sudah kukirimkan ke e-mail chief editor serta cc ke e-mail penulis--siapa tadi? Ah, entahlah. Aku lupa.

"Oh ya, besok pagi kita ada diskusi naskah. Jangan lupa!" Seru chief editor terakhir kalinya sebelum kakiku melangkah melewati pintu kaca.

Kuarahkan langkahku menuju halte bus tak jauh dari sana. Seperti biasa aku menunggu bus seorang diri. Trayek bus yang biasa kunaiki memang sepi penumpang. Namun aku malah menyukai kesepian ini. Membuatku terbebas sejenak dari kewajiban bersosialisasi. Kalian bisa menyebutku introvert, terserah. Tapi aku menemukan kenyamanan saat sendiri. Pikiranku bisa melayang bebas tanpa ada yang menginterupsi.

***

Matahari bersinar lembut, menyapu kulitku dengan hangat. Menemaniku seperti yang selalu ia lakukan setiap pagi. Satu dari sedikit hal yang bisa membuatku tersenyum. Merasakan kehangatan matahari pagi juga merupakan suatu nikmat, bukan? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Lagi-lagi aku sendirian di halte. Walau aku tahu dengan tepat jam berapa bus datang, aku selalu menunggu sepuluh menit lebih awal. Menikmati kesendirian, lagi.

Lima menit berlalu, ada yang berbeda dengan hari ini. Seseorang berlari-lari kecil menuju halte. Duduk di sebelahku. Menunggu bus yang sama, sudah pasti, karena hanya bus yang biasa kunaiki yang lewat di halte ini. Pertama kalinya dalam setahun, aku tidak sendirian menunggu.

Entah mengapa aku merasa aneh. Seperti ada yang merenggut kebebasanku. Sesuatu yang biasa kunikmati sendiri sekarang harus kubagi dengan orang lain. Aku tidak rela. Tetapi, bagaimanapun halte dan bus adalah fasilitas umum. Mana mungkin aku berteriak mengusir si pengganggu ketenanganku.

Tak pernah aku merasa selega itu ketika bus akhirnya datang. Sengaja aku naik bus belakangan, menunggu si pengganggu duduk, dan kemudian aku sendiri mengambil tempat duduk sejauh mungkin darinya.

***

Aku menatap dua orang di hadapanku tak percaya. Chief editor memperkenalkanku dengan penulis yang ia bicarakan kemarin--yang bahkan tak kuingat siapa namanya. Dan orang itu adalah si pengganggu yang sepagi tadi merenggut sepi dariku. Aku mendengus kesal. Apalagi chief editor menyuruhku untuk menyelesaikan revisi novel itu hari ini. Rupanya ada beberapa bagian yang ingin diubah oleh si penulis. Jadilah aku harus mengerjakan revisi seharian ini bersamanya, karena sore nanti naskah sudah harus naik cetak. Kesendirianku benar-benar terenggut.

"Oke, kuharap kalian dapat bekerja bersama dengan baik, walaupun ini pertemuan pertama kalian." Chief editor menepuk punggungku. Tatapannya memaksaku untuk berkata sekedar berbasa-basi.

"Senang bisa bekerja denganmu, err... Roni--aww!" Chief editor menyikut pinggangku. Aku melotot. Apa salahku?

"Maaf Randy, Asa memang mudah lupa nama orang. Sudah sana, cepat kerjakan. Waktu kalian sampai jam empat," chief editor mengingatkan. Aku merengut, sedangkan Randy hanya tersenyum geli.

Ia mengikutiku ke kafe di seberang kantor. Kalau bersama penulis seperti ini memang tempat paling cocok adalah di kafe. Setidaknya jika aku mulai uring-uringan, entah karena tulisan yang tidak sesuai standar atau karena aku mulai risih dengan kehadirannya, aku tidak akan merusak barang-barangku di kantor.

Randy bekerja tanpa banyak bersuara. Ia hanya mengangguk pelan saat kutunjukkan bagian mana yang harus disesuaikan olehnya. Aku sendiri tak berbuat apa-apa, hanya menunggu dan memastikan Randy menyelesaikannya tepat waktu. Seharusnya kan, pekerjaanku sudah selesai kemarin.

Hampir tengah hari aku menerima e-mail dari orang di hadapanku. Rupanya ia telah selesai. Segera aku mengunduh lampiran di e-mail tersebut. Memeriksa dengan seksama bagian yang ia ubah. Menambahkan dan menyunting beberapa kalimat, kemudian kembali mengirimkan padanya. Kutambahkan pesan untuknya di badan e-mail.

'Final. Siap naik cetak. Deal?'

Kulihat ia mengecek sejenak revisi dariku. Sebaris senyum puas tersungging di bibirnya saat jemarinya mengetik balasan untukku. Apa-apaan kami ini, duduk berhadapan, tapi saling berkirim e-mail?

E-mail dari Randy masuk beberapa saat kemudian. Hanya berisi satu kata.

'Deal'

Aku segera mengirimkan naskah final ke chief editor. Akhirnya aku selesai berurusan dengannya. Setelah ini aku tidak akan melihat naskah itu lagi sampai selesai dicetak. Baru setelah itu aku melakukan final check dan novel mulai beredar ke pasaran.

Sebuah e-mail masuk. Dari Randy. Apa lagi maunya? Jangan bilang dia masih ingin mengubah naskahnya. Tak akan kubiarkan. Sudah cukup ia menggangguku sehari ini.

'Pukul 6. Halte dekat kantor.'

Tunggu--apa maksudnya ini? Aku meliriknya sekilas. Ia hanya menyunggingkan sudut bibirnya. Aku tidak mengerti. Memang setiap hari aku menunggu bus di halte itu pukul enam sore. Tapi, apa maksudnya mengirimiku pesan ini?

Randy beranjak dari tempat duduknya. Tersenyum dengan sopan ke arahku dan melenggang keluar kafe. Jantungku bagai terhenti sejenak. Mengapa aku tidak menyadari sebelumnya? Matanya yang hitam bagai elang begitu tajam menatap namun dalam waktu bersamaan terkesan... lembut? Dan saat kulihat punggungnya menjauh, ia terlihat begitu gagah. Tunggu dulu, mengapa aku jadi memperhatikannya?

Sisa hari itu aku gelisah menunggu pukul enam. Aku penasaran, namun sekaligus ragu. Apakah pesan Randy tadi berarti dia akan menemuiku? Ataukah dia tahu kebiasaanku pulang dan mengancamku? Bodoh, pemikiran macam apa ini.

Semakin mendekati pukul enam, semakin bersemangatlah aku. Entahlah apa yang memberiku energi begitu besar. Ingin rasanya jemariku ini menggerakkan jarum jam walau sekedar satu menit lebih awal. Namun ketika jarum menit dan detik sempurna menghadap angka dua belas, kakiku tertahan oleh setitik ragu. Ada apa denganku? Apa yang sebenarnya  kuharapkan? Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri selama satu menit, kemudian melangkah ke luar tanpa ada prasangka apapun. No expectation at all.

Begitu keluar dari pintu kaca, sudah kulihat Randy duduk di halte sambil membaca sebuah buku. Sejenak ia melirik ke arah kantor. Melihatku sudah berjalan menuju tempat ia berada, Randy menutup buku yang dibacanya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku duduk di sampingnya. Tanpa berkata, tanpa bertanya. Ia pun begitu. Sama-sama memandang ke jalanan yang ramai. Pun dengan lima belas menit yang berlalu kemudian. Tanpa bersuara kami menaiki bus, duduk berdampingan walau tak ada sepatah kata terucap.

Begitu pula saat kami tiba di halte tujuan, turun dan berjalan beriringan menuju perumahan kecil tempat tinggalku berada. Juga ketika kami akhirnya berpisah di depan pintu gerbang rumahku. Ia hanya mengangguk kecil saat aku membuka pintu gerbang dan masuk. Aku membalasnya dengan senyum sekilas.

Aku meraih gagang pintu saat naluri memaksaku untuk berpaling. Kulihat Randy masih berdiri di luar pintu gerbang. Tersenyum dan melambaikan tangannya. Setelah kubalas lambaiannya, ia berucap pelan.

"Selamat malam."

Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Menutup pintu rapat-rapat. Aku tersadar, baru kali ini aku mendengar ia berbicara. Walau pelan, seketika aku dapat mengingat dengan pasti suaranya. Dalam dan sedikit ngebass. Suara paling berkesan yang pernah kudengar.

Aku merebahkan punggung di atas kasur. Mengingat kembali apa yang terjadi hari ini. Entah mengapa jantungku berdetak begitu keras. Perasaan ini... sudah sangat lama aku tidak merasakannya. Ini sungguh terasa asing. Tapi dalam waktu bersamaan juga... hangat.

Kulirik jam di dinding kamar. Pukul sembilan. Masih terlalu awal untuk tidur. Aku mengeluarkan laptop dari tas, menyalakannya. Sebuah e-mail masuk. Dari Randy. Baru diterima beberapa menit yang lalu. Dengan perasaan campur aduk aku membukanya.

'Selamat malam Asa. Aku hanya ingin bilang, terima kasih kau mau pulang bersama denganku tadi. Err... maaf aku tidak mengatakannya secara langsung. Baiklah, kuakui aku... malu. Oke, kau boleh tertawa sepuasmu. Tetapi sungguh, aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus bersikap atau berkata-kata bila dekat denganmu.

Maafkan ketidaksopananku.'

Aku tak bisa menahan senyum. Perasaan ini seperti meloncat-loncat mendelesak keluar dari dadaku. Dengan masih berdebar dan tangan gemetar, aku mengetik e-mail balasan.

'Tidak apa-apa, Randy. Aku juga berterima kasih padamu karena hari ini adalah pertama kalinya dalam setahun ada yang menemaniku. Ternyata, punya teman seperjalanan tidak seburuk yang kukira. Dan jangan khawatir, aku menyukai kesunyian.'

Aku tertawa membaca balasan yang kuketik, teringat betapa kesalnya aku tadi pagi karena ada yang merusak sendiriku. Tetapi saat ini kekesalan itu sudah tidak bersisa. Yang ada hanyalah perasaan lega dan syukur. Tak kurang herannya diriku mengalami perubahan emosi sedrastis ini.

Beberapa saat kemudian e-mail balasan dari Randy datang.

'Baguslah :)
Kau menyukai kesunyian, tetapi bukan berarti aku menyuruhku diam untuk selamanya, kan?
Karena aku berharap masih dapat bersamamu untuk beberapa waktu lagi.'

Kuketik e-mail balasan cepat-cepat.

'Kau yakin? Berapa lama?'

Balasan dari Randy datang lebih cepat lagi.

'Tentu. Selamanya?'

***

Gerimis lembut menyapu wajahku saat aku menunggu bus di halte pagi ini. Semalam, e-mail Randy tidak kubalas. Isi e-mail terakhirnya membuatku semakin bergemuruh dan malah kehilangan kata-kata. Nantilah saja kalau hatiku sudah mantap, aku akan memikirkannya lagi.

Sesosok pria berlari-lari kecil menembus gerimis. Randy. Aku langsung tahu dari postur tubuh dan caranya melangkah. Padahal biasanya aku tidak terlalu peduli dengan orang lain, kerap melupakan walau sudah beberapa kali bertemu. Entahlah. Mungkin otak visualku sudah merekam sempurna sosok yang membuat amygdala-ku merasakan hangat lagi itu.

Ia tiba dengan sedikit terengah. Rambutnya yang hitam cepak basah oleh rintik. Tak kurang senyum yang selalu ia tunjukkan saat mataku menangkap raut wajahnya. Duduk mengisi bangku kosong di sebelahku. Apa yang harus kukatakan? Menjawab e-mailnya semalam, atau...

"Aku menyukaimu," kata Randy menginterupsi pikiranku. Matanya lurus menatap jalan. Tak terlihat seperti berbicara denganku. Tapi kutahu pasti kata-katanya itu ditujukan padaku. Siapa lagi yang ada disini selain kami berdua?

"Hm mm." Aku mengangguk.

"Aku akan tetap menyukaimu. Walau Parhat Babas menjadi presiden, aku akan tetap menyukaimu. Eh? Maksudku... itu kan hal yang tak mungkin... maksudku..." Randy menggaruk tengkuknya salah tingkah. Aku terbahak. Perumpamaan macam apa itu.

"Penulis gagal gombal," ucapku sembari meredakan tawa.

Randy bangkit dari duduknya. Ia kemudian berdiri di hadapanku. Mata elangnya mengunci tatapanku. Siluet tubuhnya yang disinari matahari pagi membuatku tercekat. Pemandangan yang tak akan bisa kulupakan seumur hidup.

"Asa... aku tahu ini terlalu cepat. Aku sendiri tidak begitu yakin dengan ini. Tetapi aku ingin agar kau percaya... agar kita percaya... bahwa ini pantas dicoba. Maukah kau percaya? Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku hanya bisa menjanjikan kau bahagia saat ini..." kata Randy terbata.

"Saat ini?" Tanyaku tak mengerti.

"Iya, saat ini... sehingga kapanpun aku menanyakan padamu, 'apakah kau bahagia saat ini?' kau akan selalu menjawab, 'iya'..."

Tak mampu kulepaskan pandanganku dari hitam matanya. Diriku terhipnotis seluruhnya. Kutelusuri wajah Randy yang begitu kokoh dengan tatapanku. Tiba-tiba bola matanya bergerak-gerak gelisah. Semburat semu muncul di pipinya yang bagai pualam.

"Mu-mukamu merah tuh!" Katanya terbata. Aku terkikik.

"Mukamu juga merah."

***
***

Aku tersenyum membaca kembali tulisan di buku berdebu yang tanpa sengaja kutemukan itu. Aku bahkan hampir lupa dulu pernah menulis hal seperti ini. Aku mungkin tidak akan pernah menemukannya kalau tidak mengobrak-abrik lemari yang sudah teronggok di gudang. Sepasang tangan melingkar di pinggangku.

"Sudah ketemu buku kenangan SMA-mu?" Tanya si pemilik tangan. Aku menggeleng. Kutunjukkan buku yang baru saja kubaca. Tangan kanannya melepaskan pelukan di pinggangku, menerima buku tersebut.

"Apa ini?" Tanyanya. Seperti biasa suara ngebassnya selalu membuatku terpesona.

"Cerita pertemuan pertama kita," jawabku singkat. Aku memutar badan menghadapnya. Kulihat dia tersenyum kikuk sambil memegang buku. Matanya bergerak-gerak gelisah. Aku menatapnya semakin dalam.

"Mu-mukamu merah tuh!" Katanya terbata. Aku terkikik. Randy memang tak pernah berubah. Kikuk seperti pertama kali aku mengenalnya tiga tahun lalu.

"Mukamu juga merah," sahutku sambil tersenyum menggodanya. Ia semakin salah tingkah.

"Su-sudahlah!" Ia mengacak rambutku dengan canggung.

"Kau tidak berubah, mas. Masih canggung seperti tiga tahun yang lalu," kataku terkekeh.

"Jangan protes, ini salahmu. Kau akan menanggungnya seumur hidup. Karena setiap kali aku memandangmu... rasanya selalu seperti melihatmu untuk pertama kali." Saat mengatakan itu mata tajam Randy lekat menatap mataku. Aku seperti terbius. Tak mampu berkata-kata lagi. Ini yang ketiga kalinya Randy menggunakan tatapan mautnya. Pertama tiga tahun yang lalu, di bawah gerimis saat ia menyatakan suka padaku. Yang kedua baru sebulan yang lalu, beberapa saat setelah ia mengucap akad dan seruan "sah" bergema di masjid kota. Semuanya sukses membuatku membeku.

"Kau menepati janjimu, mas," kataku akhirnya.

"Janji apa?"

"Aku bahagia, saat ini. Terima kasih."



~~~fin~~~



R.A.M.
Jan, 5th 2014
Jatisrono, Wonogiri

6 comments: