Thursday, 30 July 2015

I Love You. Now, Die

Menjadi menarik itu menyenangkan, ya? Semua perhatian tertuju padamu. Apapun yang kau bicarakan, entah perkataan serius atau sekedar candaan, pasti banyak yang mendengarkan. Banyak juga yang berusaha mengobrol denganmu, atau bahkan sekedar menginginkan lirikanmu, walau sebelah mata. Pasti asyik. Apapun yang kau lakukan tidak ada yang menyalahkanmu. Kalaupun kau benar-benar berbuat salah, mereka pasti segera memaafkanmu. Tinggal kau kilaskan senyummu yang begitu menawan itu, semua orang pasti tertunduk berguling di kakimu.
Apa lagi sih, yang kurang dari dirimu? Cantik, pintar (ya, kau pun pintar, tak seperti gadis-gadis cantik berkepala kosong yang banyak berkeliaran di luar sana), supel, ramah dan mudah akrab dengan semua orang. Bahkan kau mudah sekali membuatku nyaman berteman denganmu, di saat orang-orang lain yang tak sebaik dirimu saja enggan berkenalan dengan gadis seperti diriku. Aku hampir tak percaya saat kau menyebutku sahabatmu.
Tapi apakah aku memang pantas menjadi sahabatmu? Kau memang tak pernah membicarakan ini. Tapi aku menyadari orang-orang menggunjing tentang mencoloknya perbedaan kita. Aku tahu badanku bantet, tak seperti tubuhmu yang molek. Wajahku pun penuh jerawat, tak seperti parasmu yang serupa purnama. Apalagi sense of fashionku yang amburadul, tak seperti kau yang bak peragawati mengenakan pakaian desainer terkemuka. Kau pasti malu jika bersanding denganku. Tapi kau begitu baik, tak sekalipun kau singgung masalah perbedaan kita.
Tak bosankah kau bersahabat denganku? Kau mengenalkan aku ke dalam duniamu, komunitasmu. Aku yang sebelumnya tak sekalipun terpikir akan mengenal laki-laki, mulai bisa mengobrol dengan teman-teman lelakimu. Yah, walaupun aku tahu mereka terpaksa berbuat baik padaku karena kau. Aku selalu ingat pandangan terpaksa yang terpancar dari mata mereka ketika meladeni omonganku, namun berbinar begitu cemerlang begitu kau membuka suara. Tidak, tidak. Bukannya aku iri atau cemburu padamu. Aku hanya kesal pada mereka yang tidak bisa memperlakukan dua orang dengan setara. Tidak seperti kau yang selalu baik padaku.
Apakah percakapan malam-malam kita menyenangkan bagimu? Untukku, itu sangat menyenangkan. Aku memahami banyak hal yang sebelumnya tidak kuketahui darimu. Kebiasaanmu, kesukaanmu, sifatmu. Kau juga membuatku melihat kemampuan yang aku miliki dalam perspektif yang baru. Ketika mengetahuinya, tak akan terbayang olehmu betapa girangnya aku. Aku mempunyai kelebihan yang bahkan engkau tidak punya. Manusia memang mempunyai kelebihan dan kekurangan―kecuali kau. Kau begitu sempurna sampai aku tidak dapat menemukan kekurangan apa pada dirimu. Kelebihanku yang tidak kau punyai tidak membuat nilaimu berkurang sedikitpun. Yah, aku hanya mempunyai ingatan lebih baik tentang hal-hal sepele seperti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merebus telur setengah matang, medium dan matang sempurna, atau bagaimana menanam pohon kaktus. Randomsekali. Kau tidak perlu mengingat semua itu. Tinggal masukkan kata kunci dalam mesin pencari di internet, semua hal yang kutahu dapat muncul di genggamanmu dalam sekejap. Namun demikian kau selalu meyakinkanku bahwa masih banyak kemampuanku yang belum terlihat. Sekarang aku percaya bahwa seorang sepertiku pun layak mendapat perlakuan setara seperti kau. Itu semua karenamu.
Namun tidak begitu dengan orang lain, kan? Aku tidak mengerti mengapa seseorang harus timpang dalam memperlakukan orang lain. Tetap saja mereka melihat kau sebagai bidadari sempurna, sedangkan aku hanya bayangan yang mau tak mau selalu muncul ketika terdapat cahaya. Seharusnya aku bisa menjadi bidadari sepertimu juga. Lama-lama aku muak dengan orang-orang itu. Mereka tak bisa menilai orang lain dengan setara. Seolah-olah mereka lebih baik dari yang lain. Tidak sepertimu.
Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi bidadari sepertimu? Begitu banyak orang yang tetap memandangku sebelah mata. Akan begitu lama jika membuat mereka semua menyadari perlakuan tidak adil mereka, atau sekedar memusnahkan mereka semua. Namun kau… kau hanya ada satu. Lebih cepat jika hanya kau yang perlu menghilang. Haha, tidak mungkin! Kau adalah sahabatku dan aku benar-benar menyayangimu. Begitu pikirmu, kan? Tapi sekarang kau pasti tahu pilihan mana yang aku ambil…
***
Sally terduduk gemetar membaca lembar kertas di genggamannya. Matanya membelalak tak percaya. Kakinya terasa lemas dan ia sudah ambruk dari tadi. Ia mencoba memastikan dengan matanya sendiri. Berkali-kali tatapannya berpindah antara kertas di tangannya dan seorang gadis yang berdiri di hadapannya sambil memainkan sebuah pisau lipat dengan tangan kanan. Gadis itu tersenyum sangat manis namun terlihat begitu memuakkan.
“Arina… tidak mungkin! Ini tidak benar, kan?” suara Sally pun bergetar saat ia berusaha berbicara. Kertas itu kini teremas kuat di antara jemarinya. Tubuhnya mematung dalam posisi duduk, tak bisa ia gerakkan sama sekali.
Arina berhenti memainkan pisau. Sejenak wajahnya berubah murung. “Tentu saja itu benar,” katanya. “Aku tidak pernah berbohong padamu kan, Sally sayang?” lanjutnya lagi. Kali ini senyum memuakkan sudah kembali menghiasi wajahnya.
Sally tak sanggup berkata-kata lagi. Wajahnya dihiasi kengerian yang teramat sangat. Jika saja ia dapat bergerak mungkin sudah sedari tadi ia menerobos keluar. Namun ketakutan melumpuhkannya. Yang berhasil menerobos keluar hanyalah air mata yang ditahannya sejak tadi.
“Hee? Kenapa kau menangis, Sally sayang?” Arina duduk berjongkok. Tangan kanannya yang menggenggam pisau mengusap air mata di pipi Sally. “Kau sedih, Sally sayang? Kenapa kau bersedih?” Arina berdiri.
“Lihat,” dibentangkannya gaun malam yang membungkus tubuhnya, kemudian diputarnya tubuhnya, membuat gaun itu mengembang. “Aku menjadi seperti ini karena kau, Sally sayang. Seharusnya kau bangga, bukan bersedih. Kau memilihkan pakaian untukku, membuatku menjajal berbagai macam sepatu hak tinggi, mengajariku berdandan,” ia menyentuh bibir berlipstik merahnya dengan ujung pisau. “Aku sudah secantik ini sekarang. Aku berhasil membuatmu bangga, kan? Jadi, berhentilah menangis. Oke?” senyum memuakkan itu kembali lagi.
“Kau.. kau psikopat! Kenapa kau melakukan ini padaku? Kau membenciku?! Apa salahku padamu?!” Sally mencengkeram dadanya dan berteriak histeris. Giginya digertakkan dan matanya membelalak nyalang.
“Bukan, bukan. Ah, kau tidak benar-benar membaca surat cintaku, Sally sayang. Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Aku sama sekali tidak membencimu. Sebaliknya, aku sangat menyayangimu,” Arina memainkan rambut panjang Sally dengan pisau, sementara jemarinya membelai wajah Sally dari kening hingga dagu, kemudian mengangkatnya. Mendongakkan kepala Sally. Ia menatap langsung kedua mata Sally. Mata yang bergejolak frustrasi dan penuh amarah.
“Tapi yang aku tidak paham,” lanjut Arina. Ia menarik tangannya dari wajah Sally dan kembali memainkan pisaunya, “mengapa setelah aku berubah menjadi seperti ini, seperti kau, mereka tetap saja tidak menganggapku? Mengapa mereka memujimu tapi tidak denganku? Mengapa mereka masih memperlakukanku seperti dulu? Mengapa, Sally sayang?” senyum memuakkannya menghilang. Berganti ekspresi datar yang bahkan lebih mengganggu dari senyumnya.
“Tentu saja,” Sally mendesis. “Kau! KAU?! Meniruku?! Terlalu cepat seribu tahun! Kau sama sekali tidak mengerti! Menurutmu buat apa aku mau berteman denganmu? Tentu saja aku membutuhkan bayangan jika aku ingin bersinar! Bayangan yang terus menempel padaku, namun tak pernah seindah diriku! Tentu saja mereka tidak pernah memperhatikanmu! Karena hanya ada satu yang pantas mendapat perhatian, hanya aku!” Sally mengerang hingga habis suaranya. Ia menyeringai. Taring yang biasanya mempermanis wajahnya muncul dari balik seringai seperti binatang buas.
“Aku sedih, Sally sayang,” Arina mengerutkan kening, “tak kusangka kau menunjukkan sifat aslimu secepat ini,” lanjutnya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, ujung tajam pisau Arina sudah berada di depan leher Sally, tepat di bawah dagu. Sally sontak refleks mengayunkan kepala ke belakang, hanya untuk mendarat di tembok yang keras.
“Cih!” gerutu Sally karena tak bisa mengelak.
“Seharusnya aku menghabisimu sejak tadi, sebelum sifat aslimu muncul dan mengotori citra manismu selama ini,” sungut Arina. Ia berhenti sejenak. “Karena aku ingin mengingatmu sebagai sosok yang sempurna sampai akhir,” senyum memuakkannya kembali lagi. Sally dapat merasakan ujung pisau yang dingin di lehernya.
“AAAARGH!!” Sally tiba-tiba beringas. Dihempaskannya tangan Arina, ujung pisau yang dipegang Arina membuat lehernya tergores dan mengeluarkan darah. Arina yang terkejut bahkan terlonjak mundur selangkah. Melihat darah yang menetes hingga mengotori bajunya, Sally menjerit histeris.
“Sudah cukup!” Arina membentak. Digenggamnya pisau dengan kedua tangannya. Ujung pisau itu mengarah tepat ke jantung Sally. Dalam satu gerakan presisi, Arina menghunus sekuat tenaga.
“Sally sayang, I love you. NOW, DIE!”
***
“Lapor, komandan Sasmito, saksi sudah dimintai keterangan singkat!” seorang polisi muda yang gugup melapor kepada seseorang yang terlihat sebagai penanggung jawab tertinggi di TKP.
“Kerja bagus, err, Bagus Mulyadi,” katanya tersenyum sambil melirik nama yang tersemat di dada si polisi muda. “Tapi,” senyumnya menghilang, “kau terlambat memasang garis polisi dan membiarkan wartawan mengambil gambar tanpa izin, kau membiarkan saksi yang selamat tanpa pengawalan polisi sehingga membuatnya dikerubungi wartawan, postur tubuhmu buruk, kau kurang tegas dan berwibawa, terlebih lagi kau canggung dan kikuk! Mungkin kasus pertama ini membuatmu gugup, tetapi kesalahan terbesarmu adalah,” ia menjeda. Wajah Bagus Mulyadi menjadi pucat seluruhnya. “Kau memanggilku komandan Sasmito. Bukankah sudah kubilang di setiap briefing untuk memanggilku Superintendent Smith?”
“Eh?” Bagus Mulyadi mematung kebingungan.
“Kalau superintendent terlalu sulit kau ucapkan, kau boleh memanggilku mister. Hey kau,” Mr. Smith memanggil polisi lain yang sedang berjaga. “Tarik saksi dari gerombolan wartawan. Aku akan bicara dengannya nanti,” Mr. Smith kembali pada Bagus Mulyadi, “sekarang, laporanmu.”
“Siap! Korban adalah Arina, mahasiswi Universitas X, menurut analisis singkat forensik dari banyaknya darah yang menyembur, kemungkinan korban meninggal akibat tusukan pisau tepat di aorta. Saksi yang selamat, Sally, adalah teman korban dari universitas yang sama. Dua hari yang lalu ia diculik oleh korban dan disekap di gudang tua ini. Menurut kesaksiannya korban berusaha mengancamnya dengan pisau, namun malah bunuh diri. Oh ya, selain mahasiswi, Sally adalah model yang baru-baru ini–”
“Aku tidak peduli dia model atau aktris sekalipun,” potong Mr. Smith. “Akan kutanyai dia sekarang.”
Sally menunggu di sebelah mobil polisi bersama polisi yang tadi ditugaskan Mr. Smith untuk mengawalnya. Karena belum sempat berganti baju dan membersihkan diri, seluruh tubuhnya masih tertutup darah cipratan dari Arina. Rambutnya yang dicat cokelat tak menampilkan warna lain selain merah. Begitu pula baju dan lengannya.
“Sepertinya bukan hanya wartawan yang mengerumunimu, tetapi penggemar juga. Sayang kau harus menemui mereka dalam keadaan seperti ini.”
“Iya… Jadi Anda, eh… Mr. Smith? Penanggung jawab kasus ini? Apa lagi yang perlu Anda tanyakan? Semua sudah aku jelaskan pada polisi yang menanyaiku tadi…” mata sayu Sally memandang Mr. Smith dengan lemah dan rapuh.
“Ah, aku hanya ingin melihat kondisimu. Tenang saja, setelah ini kau bisa membersihkan diri,” Mr. Smith meyakinkan Sally dengan senyum.
“Eh? Baiklah. Bekas darah ini lengket dan mulai mengganggu. Aku senang jika bisa segera membersihkannya.”
“Sepertinya kau berada sangat dekat dengan korban saat kejadian.”
“Iya, aku berada tepat di depannya. Aku takut sekali karena kupikir dia akan menusukkan pisaunya padaku. Tak tahunya ia menusuk dirinya sendiri,” mata Sally nanar seakan mengalami lagi peristiwa itu.
“Itu sebabnya banyak darah di rambutmu, pakaianmu, lenganmu…”
“Iya…”
“…kecuali telapak tanganmu.”
Sally terdiam. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam.
“Aku heran, bagaimana bisa? Padahal punggung tanganmu diselimuti darah seluruhnya. Sepertinya kau sedang memegang sesuatu saat kejadian. Sesuatu seperti… gagang pisau misalnya?”
Sally jatuh terduduk. Ia tak mengatakan apa-apa lagi tapi wajahnya mengungkapkan ketakutannya.
“Sesuai janjiku, saat ini selesai kau bisa membersihkan diri. Di kantor polisi tentunya. Setelah itu kita akan mengobrol lebih banyak lagi,” Mr. Smith memberikan isyarat kepada polisi pengawal untuk membawa Sally ke mobil polisi. Saat ia berbalik, ia mendapati Bagus Mulyadi memandangnya terpana.
“Kenapa kau terkejut seperti itu? Kau pikir orang tua sepertiku tidak berguna, eh?” dengus Mr. Smith.
“Baru kali ini saya menyaksikan detektif polisi secara langsung. Kalau boleh tahu, sejak kapan Anda mencurigai Sally?” Bagus Mulyadi memberanikan diri bertanya.
“Kau ini kan juga detektif polisi. Sebenarnya aku tidak benar-benar mencurigainya dari awal. Mungkin hanya insting? Untuk seseorang yang mengalami kejadian luar biasa tepat di depan matanya, ia tidak mengalami shock sedikitpun. Bahkan masih menyapa penggemar dan wartawan. Kalau bukan psikopat… aku tidak tahu lagi apa namanya,” Mr. Smith menghela napas. “Sekarang lanjutkan tugasmu!”
Bagus Mulyadi memberi hormat, “siap, Superintendent!”

ARMAVE – Prolog : My Future Self

“Violet… Violet…”
Perlahan gadis itu membuka mata. Ia mengerjap-ngerjapkannya sejenak sebelum benar-benar menyadari dimana ia sekarang. Tempat itu penuh kabut tebal, tapi tidak terasa dingin maupun lembab. Sekelilingnya seperti foto blur… yang dilihat di ruangan remang-remang bercahayakan lentera tanpa lampu listrik karena telat bayar PLN. Violet tidak melihat sesuatupun yang jelas kecuali sosok yang berdiri di depannya. Sosok wanita yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. Wanita itu mengenakan pakaian bertudung lebar seperti penyihir dalam cerita dongeng, dan sebuah gelang dengan beberapa tombol yang berkelap-kelip tersemat di pergelangan kirinya.
“Heh, akhirnya kau memperhatikanku juga. Kau berdiri hanya dua meter dariku tapi tak menoleh ketika kupanggil. Sudah mulai tuli atau bagaimana? Padahal masih muda begini,” keluh wanita itu dalam frustrasi.
Violet mengernyit kesal. “Memangnya kau ini siapa? Baru bertemu sudah menghina orang lain,” dengusnya.
“Ralat, bukan menghina orang lain. Aku menghina diri sendiri,” wanita itu tersenyum penuh arti.
“Eh?” Violet memperhatikan wanita itu sekali lagi dengan seksama. Memang, wajah, gestur dan keseluruhan perawakan mereka mirip. Bahkan tinggi badan mereka sama. Namun wanita itu terlihat jauh lebih tua dari Violet.
“Yap, aku adalah Violet, dalam arti lain, kau.”
“Tidak mungkin. Kau sudah tante-tante begitu.”
“Bocah ini! Ya jelas saja! Aku datang dari tahun 2035! Dua puluh tahun dari sekarang!” sentak tante Violet.
“Serius?” Violet melongo tak percaya.
“Ya. Aku bisa mengatakan apa yang akan terjadi padamu kalau kau mau. Tapi tanpa itu pun seharusnya kau tahu kalau aku benar-benar―”
“AAARGHH!” teriak Violet tiba-tiba. “Jadi maksudmu, aku tidak bertambah tinggi sedikitpun sampai tante-tante? Mengerikan. Ini mengerikan,” Violet terduduk. Ia mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Kemudian ia geleng-gelengkan sekuat tenaga.
“Hei, hei, aku kembali ke masa lalu bukan untuk ini. Walaupun aku juga kesal kenapa aku tidak bertambah tinggi sejak remaja. Dengar,” tante Violet menggamit lengan Violet dan menyentaknya berdiri.
“Jangan pikirkan soal tinggi badan atau rambutmu yang tidak bisa diatur itu. Mungkin lain kali kau bisa minta mama membawamu ke salon untuk melakukan perawatan rambut, eh, bukan bukan,” tante Violet menghela nafas.
“Tujuanku menemuimu adalah memberitahumu satu hal. Esok hari, saat hari pertama masuk sekolah, kau akan bertemu dengan jodohmu. Aku ingin kau mengenalnya lebih dalam, menghabiskan waktu dengannya, mencoba memahaminya. Tidak seperti aku, yang terpaku pada kesan pertama pertemuan dengannya, dan malah berakhir membencinya sepanjang sisa masa SMA-ku,” tante Violet terkekeh.
“Hey, itu curang,” dengus Violet.
“Untuk keuntunganmu sendiri, kan?”
“Keuntungan apanya. Kau tahu sifatku, karena kau adalah aku. Jadi kau tahu jika kau mengatakan padaku tentang jodoh, aku akan terpaku padanya dan tidak memikirkan yang lain. Aku bahkan tidak akan kepikiran untuk melirik laki-laki lain! Kau paham maksudku? Aku tidak bisa berpetualang untuk masa mudaku dan kau yang menyebabkan semua itu!” protes Violet.
“Berpetualang apanya? Kau pikir aku sudah melupakan diriku waktu muda? Gadis pemalu sepertimu tidak akan bisa berpetualang dalam cinta. Jangankan berpetualang, berbicara dengan lelaki saja tidak mungkin. Tak usah susah-susah mencoba. Aku sudah mengalaminya lebih dulu darimu,” tante Violet menyilangkan kedua lengannya di dada.
“Bukan main…,” Violet mengibaskan tangan ke udara. Kemudian berbalik badan membelakangi tante Violet.
Tante Violet menghela nafas panjang. “Bagaimanapun, aku melakukan ini demi kau-”
“Demi dirimu sendiri…” potong Violet. Kepalanya ia putar, memandang tante Violet dengan mata membelalak dan alis mengkerut.
“Oh ayolah jangan memperumit masalah ini! Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah memberitahukannya padamu. Terserah kau mau percaya padaku atau tidak. Bagaimanapun aku hanya ingin mengubah masa mudaku agar tak ada lagi penyesalan,” tante Violet memencet beberapa tombol di gelang berkilaunya. Muncul bunyi seperti komputer tua dihidupkan, dan perlahan-lahan keberadaan tante Violet menghilang. “Oh ya, aku melupakan satu hal yang paling penting. Nama jodohmu adalah Rein―” dan tante Violet menghilang sepenuhnya.
***
Violet mengerjapkan mata. Ia melihat plafon putih dan rak buku setinggi langit-langit di ujung ruangan.
“Kamarku…?” Ia melihat sekeliling sekali lagi. Selimutnya terserak di lantai, di atas meja belajar kayu mahoni, tas marun dan topi SMA-nya terjajar rapi. Seragam SMA-nya tergantung di depan lemari yang juga terbuat dari kayu mahoni. Pintu kamarnya masih tertutup. Jam weker digital di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 06:35.
“Tentu saja tadi itu hanya mimpi. Mana mungkin aku didatangi diriku sendiri dari dua puluh tahun yang akan datang? Aneh-aneh saja…” Violet menurunkan kakinya dari tempat tidur, meregangkan tubuh sembari menguap lebar. Lalu ia tersadar.
“Jam enam tiga lima?!” tangan Violet menyambar smartphone di samping jam weker dan menghidupkan layarnya. “Benar-benar enam tiga lima!!”
Tergesa Violet membuka pintu kamar dan berlari menuju kamar mandi.
“Mama! Kok kak Daisy nggak membangunkanku, sih?!” seru Violet saat melihat mamanya di dapur.
“Sudah! Tapi kamunya nggak mau bangun. Cepat mandi!” sahut mamanya.
“Kak Daisy mana? Sudah berangkat ke kampus, ya? Saat-saat begini malah nggak bisa nebeng sama kak Daisy. Aku nggak mau telat di hari pertama masuk sekolah!” nada suara Violet terdengar antara frustrasi dan pasrah.
Wednesday, 20 August 2014

Rindu



Rindu paling hebat itu
Bukan pada saat terlama tidak bertemu
Rindu paling hebat itu
Bukan detik-detik menunggu dengan jemu
Rindu paling hebat itu
Bukan saat mengenang yang telah lalu
Rindu paling hebat itu
Bukan pula menjadi lesu terongrong kenangan dulu

Rindu paling hebat
Datang pada detik pertama perpisahan

Rindu semakin hebat
Manakala terang padanya
Bahwa ia tidak akan bersua
Sebelum mengarungi semua masa yang mendera

Rindu semakin hebat
Manakala paham ia
Bahwa masa hampa tanpa bertemu muka
Tak lain hanya penyesuaian akan rindunya

Rindu semakin hebat
Manakala tahu sebenarnya
Bahwa rindu akan semakin menggila
Tatkala ia berusaha tak acuh padanya

Rindu paling hebat berada pada
Detik pertama tanpa jumpa
Friday, 30 May 2014

Beautiful Mind Family



Jum'at siang yang panas entah mengapa membuatku kepikiran untuk nulis seperti gini. Terlepas dari kemungkinan bahwa panas telah mengaktifkan saklar ketidakwarasanku atau kemungkinan-kemungkinan lain, cuss langsung aja yak sebelum saklarnya off lagi :v

Kumpulan orang-orang "gila" ini bernama Beautiful Mind Family. Loh, mengapa beautiful? Mengapa tidak crazy, kan katanya mereka gila? Entahlah, tapi menurut BMagz Trial Edition yang bisa didownload gratis disini, alasan dinamakan Beautiful Mind adalah "Because Your Mind Make Your Life More Beautiful". Yah, walaupun ada typo sih harusnya "makes" bukan "make", tapi tahulah ya apa intinya.

Bagaimana ceritanya sampai aku bisa tersesat bersama orang-orang ini? 4 Januari 2014, semua bermula dari aplikasi chatting bernama "Chatous", keyword "anime", dan "Sinetron Art Online". Bingung? Baiklah, biar nggak bingung silakan mampir ke cerita pertemuan pertama kami.

Setelah itu, sehari kemudian pada 5 Januari 2014, aku resmi digabungkan dengan grup Beautiful Mind Family. Sudah hampir lima bulan ya.. cepatnyaa :)

Anggota kami saat ini berjumlah 8 orang yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Tangerang, Bogor, Solo dan Jogja. Keseharian kami sebenarnya biasa saja. Ngobrol via grup WhatsApp, Line, BBM atau Facebook. Obrolan kami pun random sekali, mulai dari curhatan sabtu malam para jones, obrolan tentang anime, film, cerita tentang kejadian sehari-hari bahkan sampai isu politik dan konspirasi pun kami bahas. Random ya? Nah itu kan tadi udah dibilang. Kata-kata pelengkap yang biasa menghiasi obrolan kami adalah jones, idung, biawak, makan kamu ceu!, golok, dan kata-kata lain sejenis.

Se-random-randomnya dan se-gak jelas apapun grup ini tapi tiap hari selalu bisa membuatku ditegur temen sekontrakan, "Visa ketawanyaaa..". Terima kasih sudah mengizinkanku menjadi bagian dari keluarga ini :)



-- Vis,  Nim, Nis, Ceu, Sep, Yan, Din, Ik --





nb : tulisan di atas dibikin saat saklar ketidakwarasan penulis sedang on, sehingga perlu dipertanyakan keabsahannya :p


14 : 25
30 Mei 2014
Khansa
Tuesday, 29 April 2014

[Cerpen] Let's Shine Together

"Dan berperan sebagai Shinta adalah Indurasmi." Aku membungkukkan badan begitu namaku disebut oleh pembawa acara. Tepuk tangan semakin membahana tatkala kutegakkan badan kembali. Siulan dan teriakan terdengar sahut menyahut dari penonton yang jumlahnya tak kurang dari lima ribu ini. Dan―kurasa―tatapan jalang para penonton pria terlalu bernafsu menelanjangiku. Memang, kostum Shinta ini sedikit menampakkan tubuh bagian atas. Meskipun risih, aku tetap berusaha tidak peduli. Sama seperti penampilan-penampilanku sebelumnya di Prambanan. Dan di Festival Budaya di Malioboro kali ini pun tak berbeda. Puluhan kali mengalami hal seperti ini, bisa jadi telah membuat nuraniku mati rasa.
"Demikian penampilan Sendratari Ramayana dari komunitas tari Candra Kirana. Selanjutnya kita saksikan..." Suara pembawa acara sudah tak terdengar lagi begitu aku memasuki backstage. Mas Rendra, manajer Candra Kirana, perlahan menghampiriku.
"Rasmi, di luar ada wartawan yang ingin mewawancaraimu. Ladeni baik-baik. Ada majalah budaya yang ingin menjadikanmu cover mereka," katanya.
"Ya, ya. Aku mengerti. Aku ke toilet dulu." Aku melenggang dari hadapan mas Rendra, menuju toilet yang agak jauh dari panggung utama.
Berjalan dengan kostum Shinta tentu saja memancing berpasang-pasang mata untuk menatapku, sekedar melihat atau hanya melirik sambil lalu. Beberapa berbisik-bisik dengan kawannya sambil takut-takut menodongkan jari telunjuknya padaku. Bahkan ada yang berteriak tertahan saat aku melintas di sampingnya. Hah, macam artis ibukota saja.
Padahal aku hanya ingin menari. Mewujudkan cita-cita masa kecilku. Tidak, aku tak menginginkan popularitas ini. Aku hanya ingin bebas, menari tanpa perlu merasa terbebani. Tidak dulu. Tidak pula sekarang.
Tak peduli, aku mempercepat langkah. Sesampainya di toilet, kuarahkan kakiku menuju ruang janitor―ruang penyimpanan alat-alat kebersihan―dan mengambil bungkusan plastik hitam. Secepat kilat aku mengganti kostum Shinta dengan pakaian biasa, celana jeans dan kaos, di salah satu bilik. Tanganku meraih ke dalam bungkusan plastik. Menggenggam sebotol make-up remover dan kapas.
Semenit kemudian, aku keluar dari toilet sebagai orang biasa. Yang tak menarik perhatian. Yang tak diteriaki saat lewat. Tak lupa aku memasang kaca mata. Melenggang santai tanpa perlu takut dikenali.
Persetan dengan wawancara itu. Persetan dengan mas Rendra. Persetan dengan semuanya.
Walau aku sudah percaya diri dengan penyamaran ini, tetap saja aku harus waspada terhadap wajah-wajah wartawan yang linglung mencariku. Untung wajah mereka sudah kukenali. Merekalah yang kurang beruntung tak mengetahui wajahku tanpa make-up.
Dari kejauhan kulihat sosok yang kukenal setengah berlari menuju arahku. Mas Rendra. Aku yakin ia belum melihatku saat itu. Tapi cepat atau lambat...
"Aduh!" Lenganku ditarik keras. Sontak aku memberontak.
"Ssstt!" seru si penculik. Seketika aku diam. Entah mengapa otakku menyuruhku menurut.
"Kamu Shinta―eh maksudku, Rasmi, kan?" lanjutnya dengan senyum terkembang.
Kuamati wajah penculik itu. Mata hitam legam yang bergerak-gerak gelisah. Alis lebat yang tajam membingkai mata. Tulang pipi tinggi dengan rahang keras. Dimana aku pernah melihat wajah ini?
Seketika, pintu memoriku terbuka. Ingatan itu seolah-olah dicabut paksa dari ruang arsip, kemudian dengan layar besar dipertontonkan padaku. Rasanya seperti melihat film-film klasik. Dengan gambar sephia yang buram. Seperti itu pula aku melihat kenangan ini.
Lima belas tahun lalu, dua anak ingusan (benar-benar beringus karena dinginnya malam) terpana melihat pertunjukan agung di hadapan mereka. Sendratari Ramayana di Prambanan, tepat di bawah sinar purnama. Langit tampak berbaik hati, ribuan bintang berbagai gugus pun elok menampakkan diri.
Tesihir oleh keindahan magis di hadapannya, janji itu terucap. "Nanti, nanti kalau aku sudah besaar sekali, aku mau nari disini kaya mbak itu! Kamu nanti nonton, ya!" pinta si gadis kecil.
"Tentu saja," jawab bocah laki-laki di sebelahnya.
Ingatanku sempurna kembali. Membawaku ke dunia nyata bersama laki-laki di hadapanku. Dengan bibir bergetar aku berbisik, "Ra... Radithya... kamu... Radith, kan?" Aku tergugu menahan air mata yang hampir tumpah.
"Iya, Rasmi... ini aku..."
***
Setengah jam berlalu. Aku masih terlalu terkejut dapat bertemu kembali dengannya, tak dapat berkata-kata. Hanya Radith yang sejak tadi riang, berceloteh ria tentang apapun. Dimana ia tinggal sekarang, apa yang ia lakukan, bertukar nomor ponsel, bagaimana kabar teman sekelas dulu? Entahlah, aku juga sudah lama tak bertemu mereka.
Radith melirik jam tangannya. Ia tampak berpikir sejenak. Ia―masih dengan menggandeng tanganku―menarikku menuju panggung utama.
"Hei, apa yang kau lakukan? Aku bisa ketahuan!" seruku.
Radith melepas jaket bertudungnya. Tangannya yang kokoh menyampirkan jaket itu di bahuku.
"Pakai ini, kau tak akan ketahuan kalau menutupi rambutmu". Aku menurut. Entah mengapa jaket Radith terasa... pas. Bau tubuhnya familiar di indera penciumanku. Sisa suhu badannya hangat menyentuh kulitku. Nyaman.
Radith kembali menarikku. Ternyata pertunjukan selanjutnya digelar di jalan depan panggung, bukan di atasnya. Terlihat dari penonton yang telah membentuk area melingkar dengan radius sepuluh meter.
"Yak, dapat tempat strategis," kata Radith puas. Kami sudah berada di tepi lingkaran, tempat terdepan untuk menonton pertunjukan.
"Memangnya pertunjukan apa selanjutnya?" tanyaku penasaran.
"Wah, padahal kau salah satu performer, tapi tidak tahu jadwal pertunjukan?" Radith tertawa geli. Aku hanya merengut diam.
"Lihat saja, kau pasti suka," lanjutnya santai.
Musik gamelan dengan irama yang menghentak mulai dimainkan. Beberapa pemain berkostum masuk ke dalam lingkaran dengan membawa kuda-kudaan dari kulit bambu yang dianyam.
"Jathilan!" seruku takjub.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa di Festival Budaya yang kuikuti juga menampilkan pertunjukan Jathilan―atau biasa dikenal kuda lumping―salah satu kesenian tradisional favoritku.
Dan Radith masih ingat. Memang dulu aku selalu berteriak kegirangan saat tahu ada pertunjukan Jathilan yang digelar di kompleks perumahan kami. Namun tak kusangka Radith ingat hal kecil semacam itu. Dan, ya ampun! Kami, kan, baru saja bertemu kembali setelah sekian lama.
"Kau... masih ingat?"
"Tentu saja," katanya singkat. Tangannya meremas jemariku pelan.
"Bagaimana bisa aku melupakan pertemuan pertamaku denganmu?" lanjutnya.
"Kenalkan, namaku Indurasmi. Artinya cahaya bulan dalam bahasa Sansekerta. Hal yang paling kusukai adalah Jathilan!" Gadis kecil itu berteriak riang menyalami anak laki-laki di depannya.
"Aku Radithya, artinya matahari dalam bahasa Sansekerta," kata anak laki-laki itu sambil menyambut tangannya.
"Memangnya Sanse-se-kereta itu apa?" tanya seorang anak laki-laki lain.
"Entahlah, yang pasti kata ibu, itu bahasa yang bagus!" sahut si gadis kecil.
"Yee sok tahu!"
Aku juga ingat, Radith.
***
Sempurna sudah malam itu. Radith menemaniku menghabiskan malam. Sambil menghindari kejaran wartawan tentunya. Saat festival usai, ia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.
"Kau masih ingat rumahku?" tanyaku terkejut. Sudah sepuluh tahun sejak kepindahan keluarga Radith dulu, yang mengakibatkanku putus hubungan dengannya.
"Tentu saja. Dulu, kan setiap hari aku melewati rumahmu," jawabnya.
"Haha, bohong! Sekolah kan arahnya berlawanan. Bagaimana mungkin kau melewati rumahku?" Aku mencubit lengannya pelan.
"Tidak, kok. Dulu kan aku suka padamu. Makanya tiap hari pergi ke rumahmu. Meski tak pernah berani bertamu secara langsung. Hahaha."
Aku terdiam. Radith pernah menyukaiku. Ah, tapi itu hanyalah cerita cinta masa kecil. Cinta monyet yang tak berarti.
"Dulu? Kalau sekarang?" godaku.
"Wah, bagaimana, ya? Sekarang kau cantik seperti rembulan. Sudah seperti artis. Pasti banyak yang suka. Tidak cuma aku."
Tidak. Cuma. Aku. Hatiku entah mengapa berdebar keras. Aku tak mampu lagi menjawab. Sampai kami tiba di depan rumah, aku hanya dapat tersenyum tersipu.
Aku langsung masuk setelah mengucapkan terima kasih. Mengunci pintu kamar dan menghempaskan tubuhku di atas kasur. Sungguh aku sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Radith. Tapi aku ragu untuk mengakuinya. Butuh waktu satu jam sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengirim pesan singkat.
"Bulan bisa bercahaya hanya karena ia mendapat sinar dari matahari. Thanks, you're my source of light, Radithya.” Kutekan tombol send. Harap-harap cemas aku menunggu balasan darinya.

Sepuluh menit yang terasa seperti sepuluh jam, akhirnya pesan singkat balasan dari Radith datang. "Aku tidak akan beranjak dari sisimu, jika itu yang membuatmu terus bersinar. Let's shine together. Forever."


Ratri Avisa Melliferina

Nov, 18th 2013