Menjadi menarik itu menyenangkan, ya? Semua perhatian tertuju padamu. Apapun yang kau bicarakan, entah perkataan serius atau sekedar candaan, pasti banyak yang mendengarkan. Banyak juga yang berusaha mengobrol denganmu, atau bahkan sekedar menginginkan lirikanmu, walau sebelah mata. Pasti asyik. Apapun yang kau lakukan tidak ada yang menyalahkanmu. Kalaupun kau benar-benar berbuat salah, mereka pasti segera memaafkanmu. Tinggal kau kilaskan senyummu yang begitu menawan itu, semua orang pasti tertunduk berguling di kakimu.
Apa lagi sih, yang kurang dari dirimu? Cantik, pintar (ya, kau pun pintar, tak seperti gadis-gadis cantik berkepala kosong yang banyak berkeliaran di luar sana), supel, ramah dan mudah akrab dengan semua orang. Bahkan kau mudah sekali membuatku nyaman berteman denganmu, di saat orang-orang lain yang tak sebaik dirimu saja enggan berkenalan dengan gadis seperti diriku. Aku hampir tak percaya saat kau menyebutku sahabatmu.
Tapi apakah aku memang pantas menjadi sahabatmu? Kau memang tak pernah membicarakan ini. Tapi aku menyadari orang-orang menggunjing tentang mencoloknya perbedaan kita. Aku tahu badanku bantet, tak seperti tubuhmu yang molek. Wajahku pun penuh jerawat, tak seperti parasmu yang serupa purnama. Apalagi sense of fashionku yang amburadul, tak seperti kau yang bak peragawati mengenakan pakaian desainer terkemuka. Kau pasti malu jika bersanding denganku. Tapi kau begitu baik, tak sekalipun kau singgung masalah perbedaan kita.
Tak bosankah kau bersahabat denganku? Kau mengenalkan aku ke dalam duniamu, komunitasmu. Aku yang sebelumnya tak sekalipun terpikir akan mengenal laki-laki, mulai bisa mengobrol dengan teman-teman lelakimu. Yah, walaupun aku tahu mereka terpaksa berbuat baik padaku karena kau. Aku selalu ingat pandangan terpaksa yang terpancar dari mata mereka ketika meladeni omonganku, namun berbinar begitu cemerlang begitu kau membuka suara. Tidak, tidak. Bukannya aku iri atau cemburu padamu. Aku hanya kesal pada mereka yang tidak bisa memperlakukan dua orang dengan setara. Tidak seperti kau yang selalu baik padaku.
Apakah percakapan malam-malam kita menyenangkan bagimu? Untukku, itu sangat menyenangkan. Aku memahami banyak hal yang sebelumnya tidak kuketahui darimu. Kebiasaanmu, kesukaanmu, sifatmu. Kau juga membuatku melihat kemampuan yang aku miliki dalam perspektif yang baru. Ketika mengetahuinya, tak akan terbayang olehmu betapa girangnya aku. Aku mempunyai kelebihan yang bahkan engkau tidak punya. Manusia memang mempunyai kelebihan dan kekurangan―kecuali kau. Kau begitu sempurna sampai aku tidak dapat menemukan kekurangan apa pada dirimu. Kelebihanku yang tidak kau punyai tidak membuat nilaimu berkurang sedikitpun. Yah, aku hanya mempunyai ingatan lebih baik tentang hal-hal sepele seperti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merebus telur setengah matang, medium dan matang sempurna, atau bagaimana menanam pohon kaktus. Randomsekali. Kau tidak perlu mengingat semua itu. Tinggal masukkan kata kunci dalam mesin pencari di internet, semua hal yang kutahu dapat muncul di genggamanmu dalam sekejap. Namun demikian kau selalu meyakinkanku bahwa masih banyak kemampuanku yang belum terlihat. Sekarang aku percaya bahwa seorang sepertiku pun layak mendapat perlakuan setara seperti kau. Itu semua karenamu.
Namun tidak begitu dengan orang lain, kan? Aku tidak mengerti mengapa seseorang harus timpang dalam memperlakukan orang lain. Tetap saja mereka melihat kau sebagai bidadari sempurna, sedangkan aku hanya bayangan yang mau tak mau selalu muncul ketika terdapat cahaya. Seharusnya aku bisa menjadi bidadari sepertimu juga. Lama-lama aku muak dengan orang-orang itu. Mereka tak bisa menilai orang lain dengan setara. Seolah-olah mereka lebih baik dari yang lain. Tidak sepertimu.
Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi bidadari sepertimu? Begitu banyak orang yang tetap memandangku sebelah mata. Akan begitu lama jika membuat mereka semua menyadari perlakuan tidak adil mereka, atau sekedar memusnahkan mereka semua. Namun kau… kau hanya ada satu. Lebih cepat jika hanya kau yang perlu menghilang. Haha, tidak mungkin! Kau adalah sahabatku dan aku benar-benar menyayangimu. Begitu pikirmu, kan? Tapi sekarang kau pasti tahu pilihan mana yang aku ambil…
***
Sally terduduk gemetar membaca lembar kertas di genggamannya. Matanya membelalak tak percaya. Kakinya terasa lemas dan ia sudah ambruk dari tadi. Ia mencoba memastikan dengan matanya sendiri. Berkali-kali tatapannya berpindah antara kertas di tangannya dan seorang gadis yang berdiri di hadapannya sambil memainkan sebuah pisau lipat dengan tangan kanan. Gadis itu tersenyum sangat manis namun terlihat begitu memuakkan.
“Arina… tidak mungkin! Ini tidak benar, kan?” suara Sally pun bergetar saat ia berusaha berbicara. Kertas itu kini teremas kuat di antara jemarinya. Tubuhnya mematung dalam posisi duduk, tak bisa ia gerakkan sama sekali.
Arina berhenti memainkan pisau. Sejenak wajahnya berubah murung. “Tentu saja itu benar,” katanya. “Aku tidak pernah berbohong padamu kan, Sally sayang?” lanjutnya lagi. Kali ini senyum memuakkan sudah kembali menghiasi wajahnya.
Sally tak sanggup berkata-kata lagi. Wajahnya dihiasi kengerian yang teramat sangat. Jika saja ia dapat bergerak mungkin sudah sedari tadi ia menerobos keluar. Namun ketakutan melumpuhkannya. Yang berhasil menerobos keluar hanyalah air mata yang ditahannya sejak tadi.
“Hee? Kenapa kau menangis, Sally sayang?” Arina duduk berjongkok. Tangan kanannya yang menggenggam pisau mengusap air mata di pipi Sally. “Kau sedih, Sally sayang? Kenapa kau bersedih?” Arina berdiri.
“Lihat,” dibentangkannya gaun malam yang membungkus tubuhnya, kemudian diputarnya tubuhnya, membuat gaun itu mengembang. “Aku menjadi seperti ini karena kau, Sally sayang. Seharusnya kau bangga, bukan bersedih. Kau memilihkan pakaian untukku, membuatku menjajal berbagai macam sepatu hak tinggi, mengajariku berdandan,” ia menyentuh bibir berlipstik merahnya dengan ujung pisau. “Aku sudah secantik ini sekarang. Aku berhasil membuatmu bangga, kan? Jadi, berhentilah menangis. Oke?” senyum memuakkan itu kembali lagi.
“Kau.. kau psikopat! Kenapa kau melakukan ini padaku? Kau membenciku?! Apa salahku padamu?!” Sally mencengkeram dadanya dan berteriak histeris. Giginya digertakkan dan matanya membelalak nyalang.
“Bukan, bukan. Ah, kau tidak benar-benar membaca surat cintaku, Sally sayang. Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Aku sama sekali tidak membencimu. Sebaliknya, aku sangat menyayangimu,” Arina memainkan rambut panjang Sally dengan pisau, sementara jemarinya membelai wajah Sally dari kening hingga dagu, kemudian mengangkatnya. Mendongakkan kepala Sally. Ia menatap langsung kedua mata Sally. Mata yang bergejolak frustrasi dan penuh amarah.
“Tapi yang aku tidak paham,” lanjut Arina. Ia menarik tangannya dari wajah Sally dan kembali memainkan pisaunya, “mengapa setelah aku berubah menjadi seperti ini, seperti kau, mereka tetap saja tidak menganggapku? Mengapa mereka memujimu tapi tidak denganku? Mengapa mereka masih memperlakukanku seperti dulu? Mengapa, Sally sayang?” senyum memuakkannya menghilang. Berganti ekspresi datar yang bahkan lebih mengganggu dari senyumnya.
“Tentu saja,” Sally mendesis. “Kau! KAU?! Meniruku?! Terlalu cepat seribu tahun! Kau sama sekali tidak mengerti! Menurutmu buat apa aku mau berteman denganmu? Tentu saja aku membutuhkan bayangan jika aku ingin bersinar! Bayangan yang terus menempel padaku, namun tak pernah seindah diriku! Tentu saja mereka tidak pernah memperhatikanmu! Karena hanya ada satu yang pantas mendapat perhatian, hanya aku!” Sally mengerang hingga habis suaranya. Ia menyeringai. Taring yang biasanya mempermanis wajahnya muncul dari balik seringai seperti binatang buas.
“Aku sedih, Sally sayang,” Arina mengerutkan kening, “tak kusangka kau menunjukkan sifat aslimu secepat ini,” lanjutnya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, ujung tajam pisau Arina sudah berada di depan leher Sally, tepat di bawah dagu. Sally sontak refleks mengayunkan kepala ke belakang, hanya untuk mendarat di tembok yang keras.
“Cih!” gerutu Sally karena tak bisa mengelak.
“Seharusnya aku menghabisimu sejak tadi, sebelum sifat aslimu muncul dan mengotori citra manismu selama ini,” sungut Arina. Ia berhenti sejenak. “Karena aku ingin mengingatmu sebagai sosok yang sempurna sampai akhir,” senyum memuakkannya kembali lagi. Sally dapat merasakan ujung pisau yang dingin di lehernya.
“AAAARGH!!” Sally tiba-tiba beringas. Dihempaskannya tangan Arina, ujung pisau yang dipegang Arina membuat lehernya tergores dan mengeluarkan darah. Arina yang terkejut bahkan terlonjak mundur selangkah. Melihat darah yang menetes hingga mengotori bajunya, Sally menjerit histeris.
“Sudah cukup!” Arina membentak. Digenggamnya pisau dengan kedua tangannya. Ujung pisau itu mengarah tepat ke jantung Sally. Dalam satu gerakan presisi, Arina menghunus sekuat tenaga.
“Sally sayang, I love you. NOW, DIE!”
***
“Lapor, komandan Sasmito, saksi sudah dimintai keterangan singkat!” seorang polisi muda yang gugup melapor kepada seseorang yang terlihat sebagai penanggung jawab tertinggi di TKP.
“Kerja bagus, err, Bagus Mulyadi,” katanya tersenyum sambil melirik nama yang tersemat di dada si polisi muda. “Tapi,” senyumnya menghilang, “kau terlambat memasang garis polisi dan membiarkan wartawan mengambil gambar tanpa izin, kau membiarkan saksi yang selamat tanpa pengawalan polisi sehingga membuatnya dikerubungi wartawan, postur tubuhmu buruk, kau kurang tegas dan berwibawa, terlebih lagi kau canggung dan kikuk! Mungkin kasus pertama ini membuatmu gugup, tetapi kesalahan terbesarmu adalah,” ia menjeda. Wajah Bagus Mulyadi menjadi pucat seluruhnya. “Kau memanggilku komandan Sasmito. Bukankah sudah kubilang di setiap briefing untuk memanggilku Superintendent Smith?”
“Eh?” Bagus Mulyadi mematung kebingungan.
“Kalau superintendent terlalu sulit kau ucapkan, kau boleh memanggilku mister. Hey kau,” Mr. Smith memanggil polisi lain yang sedang berjaga. “Tarik saksi dari gerombolan wartawan. Aku akan bicara dengannya nanti,” Mr. Smith kembali pada Bagus Mulyadi, “sekarang, laporanmu.”
“Siap! Korban adalah Arina, mahasiswi Universitas X, menurut analisis singkat forensik dari banyaknya darah yang menyembur, kemungkinan korban meninggal akibat tusukan pisau tepat di aorta. Saksi yang selamat, Sally, adalah teman korban dari universitas yang sama. Dua hari yang lalu ia diculik oleh korban dan disekap di gudang tua ini. Menurut kesaksiannya korban berusaha mengancamnya dengan pisau, namun malah bunuh diri. Oh ya, selain mahasiswi, Sally adalah model yang baru-baru ini–”
“Aku tidak peduli dia model atau aktris sekalipun,” potong Mr. Smith. “Akan kutanyai dia sekarang.”
Sally menunggu di sebelah mobil polisi bersama polisi yang tadi ditugaskan Mr. Smith untuk mengawalnya. Karena belum sempat berganti baju dan membersihkan diri, seluruh tubuhnya masih tertutup darah cipratan dari Arina. Rambutnya yang dicat cokelat tak menampilkan warna lain selain merah. Begitu pula baju dan lengannya.
“Sepertinya bukan hanya wartawan yang mengerumunimu, tetapi penggemar juga. Sayang kau harus menemui mereka dalam keadaan seperti ini.”
“Iya… Jadi Anda, eh… Mr. Smith? Penanggung jawab kasus ini? Apa lagi yang perlu Anda tanyakan? Semua sudah aku jelaskan pada polisi yang menanyaiku tadi…” mata sayu Sally memandang Mr. Smith dengan lemah dan rapuh.
“Ah, aku hanya ingin melihat kondisimu. Tenang saja, setelah ini kau bisa membersihkan diri,” Mr. Smith meyakinkan Sally dengan senyum.
“Eh? Baiklah. Bekas darah ini lengket dan mulai mengganggu. Aku senang jika bisa segera membersihkannya.”
“Sepertinya kau berada sangat dekat dengan korban saat kejadian.”
“Iya, aku berada tepat di depannya. Aku takut sekali karena kupikir dia akan menusukkan pisaunya padaku. Tak tahunya ia menusuk dirinya sendiri,” mata Sally nanar seakan mengalami lagi peristiwa itu.
“Itu sebabnya banyak darah di rambutmu, pakaianmu, lenganmu…”
“Iya…”
“…kecuali telapak tanganmu.”
Sally terdiam. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam.
“Aku heran, bagaimana bisa? Padahal punggung tanganmu diselimuti darah seluruhnya. Sepertinya kau sedang memegang sesuatu saat kejadian. Sesuatu seperti… gagang pisau misalnya?”
Sally jatuh terduduk. Ia tak mengatakan apa-apa lagi tapi wajahnya mengungkapkan ketakutannya.
“Sesuai janjiku, saat ini selesai kau bisa membersihkan diri. Di kantor polisi tentunya. Setelah itu kita akan mengobrol lebih banyak lagi,” Mr. Smith memberikan isyarat kepada polisi pengawal untuk membawa Sally ke mobil polisi. Saat ia berbalik, ia mendapati Bagus Mulyadi memandangnya terpana.
“Kenapa kau terkejut seperti itu? Kau pikir orang tua sepertiku tidak berguna, eh?” dengus Mr. Smith.
“Baru kali ini saya menyaksikan detektif polisi secara langsung. Kalau boleh tahu, sejak kapan Anda mencurigai Sally?” Bagus Mulyadi memberanikan diri bertanya.
“Kau ini kan juga detektif polisi. Sebenarnya aku tidak benar-benar mencurigainya dari awal. Mungkin hanya insting? Untuk seseorang yang mengalami kejadian luar biasa tepat di depan matanya, ia tidak mengalami shock sedikitpun. Bahkan masih menyapa penggemar dan wartawan. Kalau bukan psikopat… aku tidak tahu lagi apa namanya,” Mr. Smith menghela napas. “Sekarang lanjutkan tugasmu!”
Bagus Mulyadi memberi hormat, “siap, Superintendent!”