Thursday, 30 July 2015

ARMAVE – Prolog : My Future Self

“Violet… Violet…”
Perlahan gadis itu membuka mata. Ia mengerjap-ngerjapkannya sejenak sebelum benar-benar menyadari dimana ia sekarang. Tempat itu penuh kabut tebal, tapi tidak terasa dingin maupun lembab. Sekelilingnya seperti foto blur… yang dilihat di ruangan remang-remang bercahayakan lentera tanpa lampu listrik karena telat bayar PLN. Violet tidak melihat sesuatupun yang jelas kecuali sosok yang berdiri di depannya. Sosok wanita yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. Wanita itu mengenakan pakaian bertudung lebar seperti penyihir dalam cerita dongeng, dan sebuah gelang dengan beberapa tombol yang berkelap-kelip tersemat di pergelangan kirinya.
“Heh, akhirnya kau memperhatikanku juga. Kau berdiri hanya dua meter dariku tapi tak menoleh ketika kupanggil. Sudah mulai tuli atau bagaimana? Padahal masih muda begini,” keluh wanita itu dalam frustrasi.
Violet mengernyit kesal. “Memangnya kau ini siapa? Baru bertemu sudah menghina orang lain,” dengusnya.
“Ralat, bukan menghina orang lain. Aku menghina diri sendiri,” wanita itu tersenyum penuh arti.
“Eh?” Violet memperhatikan wanita itu sekali lagi dengan seksama. Memang, wajah, gestur dan keseluruhan perawakan mereka mirip. Bahkan tinggi badan mereka sama. Namun wanita itu terlihat jauh lebih tua dari Violet.
“Yap, aku adalah Violet, dalam arti lain, kau.”
“Tidak mungkin. Kau sudah tante-tante begitu.”
“Bocah ini! Ya jelas saja! Aku datang dari tahun 2035! Dua puluh tahun dari sekarang!” sentak tante Violet.
“Serius?” Violet melongo tak percaya.
“Ya. Aku bisa mengatakan apa yang akan terjadi padamu kalau kau mau. Tapi tanpa itu pun seharusnya kau tahu kalau aku benar-benar―”
“AAARGHH!” teriak Violet tiba-tiba. “Jadi maksudmu, aku tidak bertambah tinggi sedikitpun sampai tante-tante? Mengerikan. Ini mengerikan,” Violet terduduk. Ia mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Kemudian ia geleng-gelengkan sekuat tenaga.
“Hei, hei, aku kembali ke masa lalu bukan untuk ini. Walaupun aku juga kesal kenapa aku tidak bertambah tinggi sejak remaja. Dengar,” tante Violet menggamit lengan Violet dan menyentaknya berdiri.
“Jangan pikirkan soal tinggi badan atau rambutmu yang tidak bisa diatur itu. Mungkin lain kali kau bisa minta mama membawamu ke salon untuk melakukan perawatan rambut, eh, bukan bukan,” tante Violet menghela nafas.
“Tujuanku menemuimu adalah memberitahumu satu hal. Esok hari, saat hari pertama masuk sekolah, kau akan bertemu dengan jodohmu. Aku ingin kau mengenalnya lebih dalam, menghabiskan waktu dengannya, mencoba memahaminya. Tidak seperti aku, yang terpaku pada kesan pertama pertemuan dengannya, dan malah berakhir membencinya sepanjang sisa masa SMA-ku,” tante Violet terkekeh.
“Hey, itu curang,” dengus Violet.
“Untuk keuntunganmu sendiri, kan?”
“Keuntungan apanya. Kau tahu sifatku, karena kau adalah aku. Jadi kau tahu jika kau mengatakan padaku tentang jodoh, aku akan terpaku padanya dan tidak memikirkan yang lain. Aku bahkan tidak akan kepikiran untuk melirik laki-laki lain! Kau paham maksudku? Aku tidak bisa berpetualang untuk masa mudaku dan kau yang menyebabkan semua itu!” protes Violet.
“Berpetualang apanya? Kau pikir aku sudah melupakan diriku waktu muda? Gadis pemalu sepertimu tidak akan bisa berpetualang dalam cinta. Jangankan berpetualang, berbicara dengan lelaki saja tidak mungkin. Tak usah susah-susah mencoba. Aku sudah mengalaminya lebih dulu darimu,” tante Violet menyilangkan kedua lengannya di dada.
“Bukan main…,” Violet mengibaskan tangan ke udara. Kemudian berbalik badan membelakangi tante Violet.
Tante Violet menghela nafas panjang. “Bagaimanapun, aku melakukan ini demi kau-”
“Demi dirimu sendiri…” potong Violet. Kepalanya ia putar, memandang tante Violet dengan mata membelalak dan alis mengkerut.
“Oh ayolah jangan memperumit masalah ini! Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah memberitahukannya padamu. Terserah kau mau percaya padaku atau tidak. Bagaimanapun aku hanya ingin mengubah masa mudaku agar tak ada lagi penyesalan,” tante Violet memencet beberapa tombol di gelang berkilaunya. Muncul bunyi seperti komputer tua dihidupkan, dan perlahan-lahan keberadaan tante Violet menghilang. “Oh ya, aku melupakan satu hal yang paling penting. Nama jodohmu adalah Rein―” dan tante Violet menghilang sepenuhnya.
***
Violet mengerjapkan mata. Ia melihat plafon putih dan rak buku setinggi langit-langit di ujung ruangan.
“Kamarku…?” Ia melihat sekeliling sekali lagi. Selimutnya terserak di lantai, di atas meja belajar kayu mahoni, tas marun dan topi SMA-nya terjajar rapi. Seragam SMA-nya tergantung di depan lemari yang juga terbuat dari kayu mahoni. Pintu kamarnya masih tertutup. Jam weker digital di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 06:35.
“Tentu saja tadi itu hanya mimpi. Mana mungkin aku didatangi diriku sendiri dari dua puluh tahun yang akan datang? Aneh-aneh saja…” Violet menurunkan kakinya dari tempat tidur, meregangkan tubuh sembari menguap lebar. Lalu ia tersadar.
“Jam enam tiga lima?!” tangan Violet menyambar smartphone di samping jam weker dan menghidupkan layarnya. “Benar-benar enam tiga lima!!”
Tergesa Violet membuka pintu kamar dan berlari menuju kamar mandi.
“Mama! Kok kak Daisy nggak membangunkanku, sih?!” seru Violet saat melihat mamanya di dapur.
“Sudah! Tapi kamunya nggak mau bangun. Cepat mandi!” sahut mamanya.
“Kak Daisy mana? Sudah berangkat ke kampus, ya? Saat-saat begini malah nggak bisa nebeng sama kak Daisy. Aku nggak mau telat di hari pertama masuk sekolah!” nada suara Violet terdengar antara frustrasi dan pasrah.

0 sentilan dan masukan:

Post a Comment