Tuesday, 29 April 2014

[Cerpen] Let's Shine Together

"Dan berperan sebagai Shinta adalah Indurasmi." Aku membungkukkan badan begitu namaku disebut oleh pembawa acara. Tepuk tangan semakin membahana tatkala kutegakkan badan kembali. Siulan dan teriakan terdengar sahut menyahut dari penonton yang jumlahnya tak kurang dari lima ribu ini. Dan―kurasa―tatapan jalang para penonton pria terlalu bernafsu menelanjangiku. Memang, kostum Shinta ini sedikit menampakkan tubuh bagian atas. Meskipun risih, aku tetap berusaha tidak peduli. Sama seperti penampilan-penampilanku sebelumnya di Prambanan. Dan di Festival Budaya di Malioboro kali ini pun tak berbeda. Puluhan kali mengalami hal seperti ini, bisa jadi telah membuat nuraniku mati rasa.
"Demikian penampilan Sendratari Ramayana dari komunitas tari Candra Kirana. Selanjutnya kita saksikan..." Suara pembawa acara sudah tak terdengar lagi begitu aku memasuki backstage. Mas Rendra, manajer Candra Kirana, perlahan menghampiriku.
"Rasmi, di luar ada wartawan yang ingin mewawancaraimu. Ladeni baik-baik. Ada majalah budaya yang ingin menjadikanmu cover mereka," katanya.
"Ya, ya. Aku mengerti. Aku ke toilet dulu." Aku melenggang dari hadapan mas Rendra, menuju toilet yang agak jauh dari panggung utama.
Berjalan dengan kostum Shinta tentu saja memancing berpasang-pasang mata untuk menatapku, sekedar melihat atau hanya melirik sambil lalu. Beberapa berbisik-bisik dengan kawannya sambil takut-takut menodongkan jari telunjuknya padaku. Bahkan ada yang berteriak tertahan saat aku melintas di sampingnya. Hah, macam artis ibukota saja.
Padahal aku hanya ingin menari. Mewujudkan cita-cita masa kecilku. Tidak, aku tak menginginkan popularitas ini. Aku hanya ingin bebas, menari tanpa perlu merasa terbebani. Tidak dulu. Tidak pula sekarang.
Tak peduli, aku mempercepat langkah. Sesampainya di toilet, kuarahkan kakiku menuju ruang janitor―ruang penyimpanan alat-alat kebersihan―dan mengambil bungkusan plastik hitam. Secepat kilat aku mengganti kostum Shinta dengan pakaian biasa, celana jeans dan kaos, di salah satu bilik. Tanganku meraih ke dalam bungkusan plastik. Menggenggam sebotol make-up remover dan kapas.
Semenit kemudian, aku keluar dari toilet sebagai orang biasa. Yang tak menarik perhatian. Yang tak diteriaki saat lewat. Tak lupa aku memasang kaca mata. Melenggang santai tanpa perlu takut dikenali.
Persetan dengan wawancara itu. Persetan dengan mas Rendra. Persetan dengan semuanya.
Walau aku sudah percaya diri dengan penyamaran ini, tetap saja aku harus waspada terhadap wajah-wajah wartawan yang linglung mencariku. Untung wajah mereka sudah kukenali. Merekalah yang kurang beruntung tak mengetahui wajahku tanpa make-up.
Dari kejauhan kulihat sosok yang kukenal setengah berlari menuju arahku. Mas Rendra. Aku yakin ia belum melihatku saat itu. Tapi cepat atau lambat...
"Aduh!" Lenganku ditarik keras. Sontak aku memberontak.
"Ssstt!" seru si penculik. Seketika aku diam. Entah mengapa otakku menyuruhku menurut.
"Kamu Shinta―eh maksudku, Rasmi, kan?" lanjutnya dengan senyum terkembang.
Kuamati wajah penculik itu. Mata hitam legam yang bergerak-gerak gelisah. Alis lebat yang tajam membingkai mata. Tulang pipi tinggi dengan rahang keras. Dimana aku pernah melihat wajah ini?
Seketika, pintu memoriku terbuka. Ingatan itu seolah-olah dicabut paksa dari ruang arsip, kemudian dengan layar besar dipertontonkan padaku. Rasanya seperti melihat film-film klasik. Dengan gambar sephia yang buram. Seperti itu pula aku melihat kenangan ini.
Lima belas tahun lalu, dua anak ingusan (benar-benar beringus karena dinginnya malam) terpana melihat pertunjukan agung di hadapan mereka. Sendratari Ramayana di Prambanan, tepat di bawah sinar purnama. Langit tampak berbaik hati, ribuan bintang berbagai gugus pun elok menampakkan diri.
Tesihir oleh keindahan magis di hadapannya, janji itu terucap. "Nanti, nanti kalau aku sudah besaar sekali, aku mau nari disini kaya mbak itu! Kamu nanti nonton, ya!" pinta si gadis kecil.
"Tentu saja," jawab bocah laki-laki di sebelahnya.
Ingatanku sempurna kembali. Membawaku ke dunia nyata bersama laki-laki di hadapanku. Dengan bibir bergetar aku berbisik, "Ra... Radithya... kamu... Radith, kan?" Aku tergugu menahan air mata yang hampir tumpah.
"Iya, Rasmi... ini aku..."
***
Setengah jam berlalu. Aku masih terlalu terkejut dapat bertemu kembali dengannya, tak dapat berkata-kata. Hanya Radith yang sejak tadi riang, berceloteh ria tentang apapun. Dimana ia tinggal sekarang, apa yang ia lakukan, bertukar nomor ponsel, bagaimana kabar teman sekelas dulu? Entahlah, aku juga sudah lama tak bertemu mereka.
Radith melirik jam tangannya. Ia tampak berpikir sejenak. Ia―masih dengan menggandeng tanganku―menarikku menuju panggung utama.
"Hei, apa yang kau lakukan? Aku bisa ketahuan!" seruku.
Radith melepas jaket bertudungnya. Tangannya yang kokoh menyampirkan jaket itu di bahuku.
"Pakai ini, kau tak akan ketahuan kalau menutupi rambutmu". Aku menurut. Entah mengapa jaket Radith terasa... pas. Bau tubuhnya familiar di indera penciumanku. Sisa suhu badannya hangat menyentuh kulitku. Nyaman.
Radith kembali menarikku. Ternyata pertunjukan selanjutnya digelar di jalan depan panggung, bukan di atasnya. Terlihat dari penonton yang telah membentuk area melingkar dengan radius sepuluh meter.
"Yak, dapat tempat strategis," kata Radith puas. Kami sudah berada di tepi lingkaran, tempat terdepan untuk menonton pertunjukan.
"Memangnya pertunjukan apa selanjutnya?" tanyaku penasaran.
"Wah, padahal kau salah satu performer, tapi tidak tahu jadwal pertunjukan?" Radith tertawa geli. Aku hanya merengut diam.
"Lihat saja, kau pasti suka," lanjutnya santai.
Musik gamelan dengan irama yang menghentak mulai dimainkan. Beberapa pemain berkostum masuk ke dalam lingkaran dengan membawa kuda-kudaan dari kulit bambu yang dianyam.
"Jathilan!" seruku takjub.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa di Festival Budaya yang kuikuti juga menampilkan pertunjukan Jathilan―atau biasa dikenal kuda lumping―salah satu kesenian tradisional favoritku.
Dan Radith masih ingat. Memang dulu aku selalu berteriak kegirangan saat tahu ada pertunjukan Jathilan yang digelar di kompleks perumahan kami. Namun tak kusangka Radith ingat hal kecil semacam itu. Dan, ya ampun! Kami, kan, baru saja bertemu kembali setelah sekian lama.
"Kau... masih ingat?"
"Tentu saja," katanya singkat. Tangannya meremas jemariku pelan.
"Bagaimana bisa aku melupakan pertemuan pertamaku denganmu?" lanjutnya.
"Kenalkan, namaku Indurasmi. Artinya cahaya bulan dalam bahasa Sansekerta. Hal yang paling kusukai adalah Jathilan!" Gadis kecil itu berteriak riang menyalami anak laki-laki di depannya.
"Aku Radithya, artinya matahari dalam bahasa Sansekerta," kata anak laki-laki itu sambil menyambut tangannya.
"Memangnya Sanse-se-kereta itu apa?" tanya seorang anak laki-laki lain.
"Entahlah, yang pasti kata ibu, itu bahasa yang bagus!" sahut si gadis kecil.
"Yee sok tahu!"
Aku juga ingat, Radith.
***
Sempurna sudah malam itu. Radith menemaniku menghabiskan malam. Sambil menghindari kejaran wartawan tentunya. Saat festival usai, ia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.
"Kau masih ingat rumahku?" tanyaku terkejut. Sudah sepuluh tahun sejak kepindahan keluarga Radith dulu, yang mengakibatkanku putus hubungan dengannya.
"Tentu saja. Dulu, kan setiap hari aku melewati rumahmu," jawabnya.
"Haha, bohong! Sekolah kan arahnya berlawanan. Bagaimana mungkin kau melewati rumahku?" Aku mencubit lengannya pelan.
"Tidak, kok. Dulu kan aku suka padamu. Makanya tiap hari pergi ke rumahmu. Meski tak pernah berani bertamu secara langsung. Hahaha."
Aku terdiam. Radith pernah menyukaiku. Ah, tapi itu hanyalah cerita cinta masa kecil. Cinta monyet yang tak berarti.
"Dulu? Kalau sekarang?" godaku.
"Wah, bagaimana, ya? Sekarang kau cantik seperti rembulan. Sudah seperti artis. Pasti banyak yang suka. Tidak cuma aku."
Tidak. Cuma. Aku. Hatiku entah mengapa berdebar keras. Aku tak mampu lagi menjawab. Sampai kami tiba di depan rumah, aku hanya dapat tersenyum tersipu.
Aku langsung masuk setelah mengucapkan terima kasih. Mengunci pintu kamar dan menghempaskan tubuhku di atas kasur. Sungguh aku sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Radith. Tapi aku ragu untuk mengakuinya. Butuh waktu satu jam sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengirim pesan singkat.
"Bulan bisa bercahaya hanya karena ia mendapat sinar dari matahari. Thanks, you're my source of light, Radithya.” Kutekan tombol send. Harap-harap cemas aku menunggu balasan darinya.

Sepuluh menit yang terasa seperti sepuluh jam, akhirnya pesan singkat balasan dari Radith datang. "Aku tidak akan beranjak dari sisimu, jika itu yang membuatmu terus bersinar. Let's shine together. Forever."


Ratri Avisa Melliferina

Nov, 18th 2013

1 comment: