"Dan berperan sebagai Shinta adalah Indurasmi." Aku
membungkukkan badan begitu namaku disebut oleh pembawa acara. Tepuk tangan
semakin membahana tatkala kutegakkan badan kembali. Siulan dan teriakan
terdengar sahut menyahut dari penonton yang jumlahnya tak kurang dari lima ribu
ini. Dan―kurasa―tatapan jalang para penonton pria terlalu bernafsu
menelanjangiku. Memang, kostum Shinta ini sedikit menampakkan tubuh bagian atas.
Meskipun risih, aku tetap berusaha tidak peduli. Sama seperti
penampilan-penampilanku sebelumnya di Prambanan. Dan di Festival Budaya di Malioboro
kali ini pun tak berbeda. Puluhan kali mengalami hal seperti ini, bisa jadi
telah membuat nuraniku mati rasa.
"Demikian penampilan Sendratari Ramayana dari komunitas tari Candra
Kirana. Selanjutnya kita saksikan..." Suara pembawa acara sudah tak
terdengar lagi begitu aku memasuki backstage.
Mas Rendra, manajer Candra Kirana, perlahan menghampiriku.
"Rasmi, di luar ada wartawan yang ingin mewawancaraimu. Ladeni
baik-baik. Ada majalah budaya yang ingin menjadikanmu cover mereka," katanya.
"Ya, ya. Aku mengerti. Aku ke toilet dulu." Aku melenggang dari
hadapan mas Rendra, menuju toilet yang agak jauh dari panggung utama.
Berjalan dengan kostum Shinta tentu saja memancing berpasang-pasang mata
untuk menatapku, sekedar melihat atau hanya melirik sambil lalu. Beberapa
berbisik-bisik dengan kawannya sambil takut-takut menodongkan jari telunjuknya padaku.
Bahkan ada yang berteriak tertahan saat aku melintas di sampingnya. Hah, macam
artis ibukota saja.
Padahal aku hanya ingin menari. Mewujudkan cita-cita masa kecilku. Tidak,
aku tak menginginkan popularitas ini. Aku hanya ingin bebas, menari tanpa perlu
merasa terbebani. Tidak dulu. Tidak pula sekarang.
Tak peduli, aku mempercepat langkah. Sesampainya di toilet, kuarahkan
kakiku menuju ruang janitor―ruang penyimpanan alat-alat kebersihan―dan
mengambil bungkusan plastik hitam. Secepat kilat aku mengganti kostum Shinta
dengan pakaian biasa, celana jeans dan kaos, di salah satu bilik. Tanganku
meraih ke dalam bungkusan plastik. Menggenggam sebotol make-up remover dan kapas.
Semenit kemudian, aku keluar dari toilet sebagai orang biasa. Yang tak menarik
perhatian. Yang tak diteriaki saat lewat. Tak lupa aku memasang kaca mata.
Melenggang santai tanpa perlu takut dikenali.
Persetan dengan wawancara itu. Persetan dengan mas Rendra. Persetan dengan
semuanya.
Walau aku sudah percaya diri dengan penyamaran ini, tetap saja aku harus
waspada terhadap wajah-wajah wartawan yang linglung mencariku. Untung wajah
mereka sudah kukenali. Merekalah yang kurang beruntung tak mengetahui wajahku
tanpa make-up.
Dari kejauhan kulihat sosok yang kukenal setengah berlari menuju arahku.
Mas Rendra. Aku yakin ia belum melihatku saat itu. Tapi cepat atau lambat...
"Aduh!" Lenganku ditarik keras. Sontak aku memberontak.
"Ssstt!" seru si penculik. Seketika aku diam. Entah mengapa
otakku menyuruhku menurut.
"Kamu Shinta―eh maksudku, Rasmi, kan?" lanjutnya dengan senyum
terkembang.
Kuamati wajah penculik itu. Mata hitam legam yang bergerak-gerak gelisah.
Alis lebat yang tajam membingkai mata. Tulang pipi tinggi dengan rahang keras.
Dimana aku pernah melihat wajah ini?
Seketika, pintu memoriku terbuka. Ingatan itu seolah-olah dicabut paksa
dari ruang arsip, kemudian dengan layar besar dipertontonkan padaku. Rasanya
seperti melihat film-film klasik. Dengan gambar sephia yang buram. Seperti itu pula aku melihat kenangan ini.
Lima belas tahun lalu, dua anak ingusan (benar-benar beringus karena
dinginnya malam) terpana melihat pertunjukan agung di hadapan mereka.
Sendratari Ramayana di Prambanan, tepat di bawah sinar purnama. Langit tampak
berbaik hati, ribuan bintang berbagai gugus pun elok menampakkan diri.
Tesihir oleh keindahan magis di hadapannya, janji itu terucap.
"Nanti, nanti kalau aku sudah besaar sekali, aku mau nari disini kaya mbak
itu! Kamu nanti nonton, ya!" pinta si gadis kecil.
"Tentu saja," jawab bocah laki-laki di sebelahnya.
Ingatanku sempurna kembali. Membawaku ke dunia nyata bersama laki-laki di
hadapanku. Dengan bibir bergetar aku berbisik, "Ra... Radithya... kamu...
Radith, kan?" Aku tergugu menahan air mata yang hampir tumpah.
"Iya, Rasmi... ini aku..."
***
Setengah jam berlalu. Aku masih terlalu terkejut dapat bertemu kembali
dengannya, tak dapat berkata-kata. Hanya Radith yang sejak tadi riang,
berceloteh ria tentang apapun. Dimana ia tinggal sekarang, apa yang ia lakukan,
bertukar nomor ponsel, bagaimana kabar teman sekelas dulu? Entahlah, aku juga
sudah lama tak bertemu mereka.
Radith melirik jam tangannya. Ia tampak berpikir sejenak. Ia―masih dengan
menggandeng tanganku―menarikku menuju panggung utama.
"Hei, apa yang kau lakukan? Aku bisa ketahuan!" seruku.
Radith melepas jaket bertudungnya. Tangannya yang kokoh menyampirkan jaket
itu di bahuku.
"Pakai ini, kau tak akan ketahuan kalau menutupi rambutmu". Aku
menurut. Entah mengapa jaket Radith terasa... pas. Bau tubuhnya familiar di
indera penciumanku. Sisa suhu badannya hangat menyentuh kulitku. Nyaman.
Radith kembali menarikku. Ternyata pertunjukan selanjutnya digelar di
jalan depan panggung, bukan di atasnya. Terlihat dari penonton yang telah
membentuk area melingkar dengan radius sepuluh meter.
"Yak, dapat tempat strategis," kata Radith puas. Kami sudah
berada di tepi lingkaran, tempat terdepan untuk menonton pertunjukan.
"Memangnya pertunjukan apa selanjutnya?" tanyaku penasaran.
"Wah, padahal kau salah satu performer, tapi tidak tahu jadwal
pertunjukan?" Radith tertawa geli. Aku hanya merengut diam.
"Lihat saja, kau pasti suka," lanjutnya santai.
Musik gamelan dengan irama yang menghentak mulai dimainkan. Beberapa
pemain berkostum masuk ke dalam lingkaran dengan membawa kuda-kudaan dari kulit
bambu yang dianyam.
"Jathilan!" seruku takjub.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa di Festival Budaya yang kuikuti juga
menampilkan pertunjukan Jathilan―atau biasa dikenal kuda lumping―salah satu
kesenian tradisional favoritku.
Dan Radith masih ingat. Memang dulu aku selalu berteriak kegirangan saat
tahu ada pertunjukan Jathilan yang digelar di kompleks perumahan kami. Namun
tak kusangka Radith ingat hal kecil semacam itu. Dan, ya ampun! Kami, kan, baru
saja bertemu kembali setelah sekian lama.
"Kau... masih ingat?"
"Tentu saja," katanya singkat. Tangannya meremas jemariku pelan.
"Bagaimana bisa aku melupakan pertemuan pertamaku denganmu?" lanjutnya.
"Kenalkan, namaku Indurasmi.
Artinya cahaya bulan dalam bahasa Sansekerta. Hal yang paling kusukai adalah
Jathilan!" Gadis kecil itu berteriak riang menyalami anak laki-laki di
depannya.
"Aku Radithya, artinya
matahari dalam bahasa Sansekerta," kata anak laki-laki itu sambil
menyambut tangannya.
"Memangnya Sanse-se-kereta itu
apa?" tanya seorang anak laki-laki lain.
"Entahlah, yang pasti kata
ibu, itu bahasa yang bagus!" sahut si gadis kecil.
"Yee sok tahu!"
Aku juga ingat, Radith.
***
Sempurna sudah malam itu. Radith menemaniku menghabiskan malam. Sambil
menghindari kejaran wartawan tentunya. Saat festival usai, ia menawarkan diri
untuk mengantarkanku pulang.
"Kau masih ingat rumahku?" tanyaku terkejut. Sudah sepuluh tahun
sejak kepindahan keluarga Radith dulu, yang mengakibatkanku putus hubungan
dengannya.
"Tentu saja. Dulu, kan setiap hari aku melewati rumahmu," jawabnya.
"Haha, bohong! Sekolah kan arahnya berlawanan. Bagaimana mungkin kau
melewati rumahku?" Aku mencubit lengannya pelan.
"Tidak, kok. Dulu kan aku suka padamu. Makanya tiap hari pergi ke
rumahmu. Meski tak pernah berani bertamu secara langsung. Hahaha."
Aku terdiam. Radith pernah menyukaiku. Ah, tapi itu hanyalah cerita cinta
masa kecil. Cinta monyet yang tak berarti.
"Dulu? Kalau sekarang?" godaku.
"Wah, bagaimana, ya? Sekarang kau cantik seperti rembulan. Sudah
seperti artis. Pasti banyak yang suka. Tidak cuma aku."
Tidak. Cuma. Aku. Hatiku entah mengapa berdebar keras. Aku tak mampu lagi
menjawab. Sampai kami tiba di depan rumah, aku hanya dapat tersenyum tersipu.
Aku langsung masuk setelah mengucapkan terima kasih. Mengunci pintu kamar
dan menghempaskan tubuhku di atas kasur. Sungguh aku sangat bahagia bisa
bertemu lagi dengan Radith. Tapi aku ragu untuk mengakuinya. Butuh waktu satu
jam sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengirim pesan singkat.
"Bulan bisa bercahaya hanya
karena ia mendapat sinar dari matahari. Thanks, you're my
source of light, Radithya.” Kutekan
tombol send. Harap-harap cemas aku menunggu balasan darinya.
Sepuluh menit yang terasa seperti sepuluh jam, akhirnya pesan singkat
balasan dari Radith datang. "Aku
tidak akan beranjak dari sisimu, jika itu yang membuatmu terus bersinar. Let's
shine together. Forever."
Ratri Avisa Melliferina
Nov, 18th 2013
Ratri Avisa Melliferina
Nov, 18th 2013
Ciyehhhhh. . Radithnya mana??
ReplyDelete